Definisi dan arti kata P16A adalah

  • Kode yang didasarkan pada Keputusan Jaksa Agung RI No. 518/A/J.A/11/2001 tanggal 1 Nopember 2001 tentang Perubahan Keputusan Jaksa Agung RI No. 132/JA/11/1994 tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana yang berarti Surat Perintah Penunjukkan Jaksa Penuntut Umum untuk Penyelesaian Perkara Tindak Pidana.
  • Definisi dan arti kata P17 adalah

  • Kode yang didasarkan pada Keputusan Jaksa Agung RI No. 518/A/J.A/11/2001 tanggal 1 Nopember 2001 tentang Perubahan Keputusan Jaksa Agung RI No. 132/JA/11/1994 tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana yang berarti Permintaan Perkembangan Hasil Penyelidikan.
  • Definisi dan arti kata P18 adalah

  • Kode yang didasarkan pada Keputusan Jaksa Agung RI No. 518/A/J.A/11/2001 tanggal 1 Nopember 2001 tentang Perubahan Keputusan Jaksa Agung RI No. 132/JA/11/1994 tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana yang berarti Hasil Penyelidikan Belum Lengkap.
  • Definisi dan arti kata P19 adalah

  • Kode yang didasarkan pada Keputusan Jaksa Agung RI No. 518/A/J.A/11/2001 tanggal 1 Nopember 2001 tentang Perubahan Keputusan Jaksa Agung RI No. 132/JA/11/1994 tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana yang berarti Pengembalian Berkas Perkara untuk Dilengkapi.
  • Definisi dan arti kata P1 adalah kode yang didasarkan pada Keputusan Jaksa Agung RI No. 518/A/J.A/11/2001 tanggal 1 Nopember 2001 tentang Perubahan Keputusan Jaksa Agung RI No. 132/JA/11/1994 tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana yang berarti Penerimaan Laporan (Tetap).

    Definisi dan arti kata P2 adalah

  • Kode yang didasarkan pada Keputusan Jaksa Agung RI No. 518/A/J.A/11/2001 tanggal 1 Nopember 2001 tentang Perubahan Keputusan Jaksa Agung RI No. 132/JA/11/1994 tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana yang berarti Surat Perintah Penyelidikan.
  • Definisi dan arti kata Tindak Pidana Korupsi adalah

  • tindakan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian negara atau daerah atau merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal kelonggaran-kelonggaran dari negara atau masyarakat;
  • perbuatan seseorang, yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau badan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan dan kedudukan; c. kejahatan-kejahatan tercantum dalam pasal 17 sampai pasal 21 peraturan ini dan dalam pasal 209, 210, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425 dan 435 kitab undang-undang hukum pidana.
  • Definisi dan arti kata Juncto adalah ‘dihubungankan atau dikaitkan’. Istilah ini dimaksudkan untuk menghubungkan atau mengaitkan undang-undang, pasal, atau ketentuan-ketentuan yang satu dengan undang-undang, pasal, ketentuan-ketentuan yang lainnya dan biasanya disingkat dengan ‘jo.’. Misalnya, ‘Pasal 112 ayat (1) jo. Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika’, berarti Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika  yang dihubungkan dengan Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika’. Berdasarkan konteks pasalnya, maka yang dimaksud ialah perbuatan tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika yang dilakukan dalam kualifikasi percobaan maupun permufakatan jahat melakukan tindak pidana.

    Variasi penulisan lain dapat digunakan untuk merujuk ketentuan dalam peraturan lain, ketentuan peralihan, ketentuan peraturan yang telah diubah sebagian namun masih diberlakukan, dan lain sebagainya. Penulisan juncto dalam suatu kalimat memberikan maksud penulis untuk merujuk ketentuan-ketentuan tersebut untuk dipahami secara bersama-sama sehingga merupakan bagian yang tidak terpisahkan.

    Definisi dan Arti Kata Testimonium De Auditu adalah keterangan tanpa pendengaran yang berasal dari Bahasa Latin. Istilah ini digunakan secara luas untuk menggambarkan keadaan saksi yang memberikan keterangan tanpa mengalami langsung peristiwa hukumnya. Biasanya, saksi model ini hanya memberikan keterangan berdasarkan keterangan orang lain yang diketahuinya. Istilah ini sangat erat kaitannya dengan Saksi sebagai Alat Bukti dalam proses peradilan. Pada prinsipnya, alat bukti digunakan untuk menggambarkan peristiwa hukum sebenarnya mengingat lembaga peradilan perlu memberikan penilaian terhadap peristiwa hukum tersebut walaupun tanpa kehadirannya disaat itu. Rasio tersebut yang menyebabkan kesaksian harus betul-betul tahu mengenai peristiwa hukum yang terjadi dan pengetahuannya bukan berdasarkan cerita dari pihak lain.

    Rasio pembuktian tersebut sempat direduksi dalam praktik interpretasi Pasal 1 angka 26 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang menggariskan bahwa kesaksian terpaku pada peristiwa yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. Praktik interpretasi tersebut diluruskan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang menegaskan pemaknaan melalui kata ‘tidak selalu’ dalam peristiwa yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. Merujuk pada pertimbangan dalam putusan tersebut, pemaknaan kata ‘tidak selalu’ tersebut bukan berarti memberikan keleluasaan bagi Saksi yang menerangkan berdasarkan cerita dari orang lain, melainkan keterangan Saksi yang tetap dialaminya sendiri meskipun menggambarkan peristiwa di luar dari peristiwa hukum yang sedang dinilai. Sebagai contoh, keterangan Saksi yang menimbulkan alibi bagi Terdakwa menjadi diperkenankan.