Definisi dan arti kata Kepastian Hukum adalah

  • Asas dalam negara hukum yang menggunakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara negara
  • Definisi dan Arti Kata Ius Corrigendi adalah frasa Latin yang secara harfiah berarti “hak untuk memperbaiki.” Istilah ini digunakan dalam konteks hukum untuk merujuk pada hak atau kewenangan yang dimiliki oleh pengadilan atau otoritas hukum untuk mengoreksi atau memperbaiki kesalahan yang terjadi dalam proses hukum atau keputusan yang telah dibuat. Penggunaan kewenangan ini sekaligus menyatakan kesalahan badan peradilan dalam menerbitkan putusan. Ruang lingkup kesalahan dalam bahasan ini terbatas pada kesalahan yang pada dasarnya tidak dimaksud dalam putusan tersebut semisal kesalahan dalam pengetikan.

    Dalam praktiknya, “ius corrigendi” dapat mencakup berbagai tindakan atau keputusan yang diambil oleh pengadilan atau otoritas hukum untuk memperbaiki kesalahan administratif, kesalahan interpretasi hukum, atau kesalahan fakta yang mungkin terjadi dalam proses pengadilan. Misalnya, pengadilan dapat mengeluarkan perintah pengubahan atau klarifikasi terhadap putusan sebelumnya, atau membatalkan atau mengoreksi putusan yang dikeluarkan karena kesalahan.

    Walaupun dianggap sebagai suatu hak, “ius corrigendi” harus digunakan dengan hati-hati dan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku, termasuk prinsip keadilan, kepastian hukum, dan perlindungan hak-hak individu. Hal ini mengingat perbaikan putusan dalam bentuk apapun dapat menimbulkan spekulasi atas putusan yang telah diterbitkan. Dalam beberapa yurisdiksi, ada prosedur dan persyaratan khusus yang harus dipatuhi sebelum “ius corrigendi” dapat diterapkan, untuk memastikan bahwa tindakan tersebut diambil dengan kebijaksanaan dan keadilan yang tepat.

    Di Indonesia, prinsip dari Ius Corrigendi dapat ditemukan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014 yang pada prinsipnya hanya berlaku terhadap putusan yang salinannya belum diterima oleh para pihak bersengketa.

    Definisi dan Arti Kata Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang menempatkan kekuasaan pada rakyat melalui mekanisme pemilihan umum. Kata “demokrasi” berasal dari bahasa Yunani “demokratia,” yang terdiri dari kata “demos” yang berarti “rakyat” dan “kratos” yang berarti “kekuasaan.” Artinya, demokrasi adalah sistem di mana kekuasaan dipegang oleh rakyat. Dalam demokrasi, warga negara memiliki hak untuk memilih pemimpin mereka dan untuk menentukan bagaimana negara tersebut diatur. Pemilihan umum merupakan cara utama bagi rakyat untuk memilih pemimpin mereka dan untuk mengendalikan kebijakan publik. Demokrasi juga menghargai hak asasi manusia, hak untuk mendapat perlakuan yang adil, dan hak untuk hidup sejahtera.

    Dalam hukum, demokrasi dianggap sebagai sistem hukum yang memberikan kekuasaan kepada rakyat melalui mekanisme pemilihan umum. Dalam sistem hukum demokrasi, rakyat memiliki hak untuk memilih pemimpin mereka, menentukan bagaimana negara tersebut diatur, dan memengaruhi kebijakan publik melalui proses pemilihan umum. Hukum dianggap sebagai alat untuk menjamin keadilan bagi semua warga negara. Oleh karena itu, sistem hukum demokrasi harus memberikan perlakuan yang adil bagi semua warga negara tanpa terkecuali. Selain itu, sistem hukum demokrasi juga harus mampu menjamin hak asasi manusia serta memberikan kepastian hukum bagi semua warga negara.

    Di Indonesia, demokrasi disebut dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, yang merupakan konstitusi negara Indonesia. Bunyi ketentuan tersebut ialah “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar.” Kedaulatan rakyat ini merupakan salah satu prinsip dasar demokrasi yang menempatkan kekuasaan pada rakyat melalui mekanisme pemilihan umum. Selain itu, makna demokrasi secara tidak langsung tercantum dalam beberapa pasal lain dalam Undang-Undang Dasar 1945, di antaranya Pasal 27 ayat (1), yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berekspresi, dan Pasal 28D ayat (1), yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat. Prinsip-prinsip tersebut merupakan dasar hukum demokrasi di Indonesia yang menjamin hak asasi manusia serta memberikan kepastian hukum bagi semua warga negara.

    Definisi dan Arti Kata Asas Umum Pemerintahan Negara Yang Baik adalah asas yang menjunjung tinggi norma kesusilaan, kepatutan, dan norma hukum,untuk mewujudkan Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Istilah ini dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Asas ini meliputi Asas Kepastian Hukum, Asas Tertib Penyelenggaraan Negara, Asas Kepentingan Umum, Asas Keterbukaan, Asas Proporsionalitas, Asas Profesionalitas, dan Asas Akuntabilitas. Tidak terlaksananya asas-asas tersebut dalam penyelenggaraan negara dapat menjadi alasan kuat untuk menyatakan proses pemerintahan negara tidak baik. Namun sebagai asas umum, asas-asas ini harus digunakan sebagai pedoman dalam penyelenggaraan negara kecuali terdapat kondisi khusus yang diatur dalam asas maupun peraturan perundang-undangan tertentu.

    Definisi dan Arti Kata Disparitas Putusan adalah perbedaan putusan pengadilan dalam kasus serupa. Istilah ini berlaku dalam lapangan hukum pidana maupun lapangan hukum perdata. Pada dasarnya kasus yang muncul di pengadilan tidak pernah sama. Hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa senantiasa terdapat variabel pembeda antara peristiwa hukum yang satu dengan peristiwa hukum yang lain seperti motif, kondisi sosial, dan sebagainya. Walaupun demikian, disparitas putusan merupakan peristiwa yang mendatangkan kritik moril yang kuat terutama terhadap peristiwa-peristiwa hukum dengan variabel subjektif yang kental. Disparitas putusan dapat menciptakan paradigma bahwa hukum yang diterapkan oleh pengadilan ialah relatif. Padahal secara umum, kepastian hukum dan konsistensi putusan merupakan hal yang diidamkan oleh masyarakat modern. Hal ini merupakan pandangan wajar, karena dengan adanya kepastian hukum dan konsistensi putusan, akan tercipta suatu paradigma perilaku menentukan sikap terhadap hukum yang berlaku. Untuk menghadapi disparitas putusan, Hakim dituntut untuk dapat menjelaskan perbedaan hukum antar kasus tersebut dalam suatu pertimbangan. Hal tersebut telah secara konsisten diterapkan oleh Hakim dalam sistem hukum common law. Berdasarkan pemahaman tersebut, disparitas putusan adalah hal yang diperkenankan namun perlu dilandasi oleh alasan hukum yang kuat. Oleh sebab itu hanya disparitas putusan dengan alasan selain hukum seperti asas kemanfaatan dan sebagainya yang berpotensi menimbulkan kritik moril yang kuat.

    Definisi dan arti kata Mengadili Sendiri adalah mengadili dengan kewenangan yang dimiliki sendiri. Istilah ini sering muncul di dalam putusan badan peradilan yang akan membatalkan putusan badan peradilan pada tingkat yang lebih rendah. Sebagai contoh, istilah ini dapat ditemukan dalam Putusan Pengadilan Tinggi yang akan membatalkan Putusan Pengadilan Negeri atau Putusan Mahkamah Agung yang akan membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi. Adanya pembatalan putusan badan peradilan pada tingkat lebih rendah, mengakibatkan status quo terhadap perkara yang telah diperiksa. Oleh sebab itu, terhadap perkara tersebut perlu diadili kembali sehingga memberikan kepastian hukum terhadap pihak-pihak berperkara.

    Istilah ini dapat ditemukan dalam Putusan Pengadilan Tinggi yang akan membatalkan Putusan Pengadilan Negeri atau Putusan Mahkamah Agung yang akan membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi

    Mengacu pada arti kata mengadili, maka makna dari mengadili sendiri adalah serangkaian tindakan hakim dalam menerima, memeriksa, dan memutuskan perkara berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal menurut cara yg diatur undang-undang dengan kewenangan yang dimilikinya sendiri.

    Definisi dan Arti Kata Putusan Serta Merta adalah putusan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu sebelum putusan tersebut berkekuatan hukum tetap. Istilah ini lazim dikenal sebagai uitvoerbaar bij voorraad yang kaidah utamanya dapat dirujuk melalui Surat Edaran Nomor 3 Tahun 2000 tentang Putusan Serta Merta (Uitvoerbaar Bij Voorraad) dan Provisionil. Kaidah putusan serta merta pada prinsipnya menyimpangi kaidah pelaksanaan putusan yang harus dalam keadaan berkekuatan hukum tetap. Oleh sebab itu penjatuhan putusan serta merta harus didasarkan pada suatu pertimbangan yang mendekati kepastian mutlak. Berdasarkan Surat Edaran tersebut setidaknya ada beberapa parameter yang perlu diperhatikan dalam penjatuhan putusan serta merta, yakni sebagai berikut:

    1. Gugatan didasarkan pada bukti surat autentik atau surat tulisan tangan (handschrift) yang tidak dibantah kebenaran
      tentang isi dan tanda tangannya, yang menurut Undang-Undang tidak mempunyai kekuatan bukti;
    2. Gugatan tentang Hutang-Piutang yang jumlahnya sudah pasti dan tidak dibantah;
    3. Gugatan tentang sewa menyewa tanah, rumah, gudang dan lain-lain, dimana hubungan sewa menyewanya sudah habis lampau, atau Penyewa yang beriktikat baik;
    4. Pokok gugatan mengenai tuntutan pembagian harta perkawinan (gono-gini) setelah mengenai putusan mengenai
      gugatan cerai mempunyai kekuatan hukum tetap;
    5. Gugatan berdasarkan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) dan mempunyai hubungan dengan pokok gugatan yang diajukan;
    6. Pokok sengketa mengenai bezitsrecht;
    7. Adanya pemberian jaminan yang nilainya sama dengan nilai barang/objek eksekusi, sehingga tidak menimbulkan kerugian pada pihak lain, apabila ternyata dikemudian hari dijatuhkan putusan yang membantalkan putusan Pengadilan Tingakat Pertama.
    8. Apabila Pengugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri atau Ketua Pengadilan Agama agar Putusan Serta Merta dilaksanakan, maka permohonan tesebut beserta berkas perkara selengkapnya dikirim ke Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Tinggi Agama disertai pendapat dari Ketua Pengadilan Negeri dan Ketua Pengadilan Agama yang bersangkutan.

    Definisi dan arti kata Lambang Negara adalah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Definisi tersebut mengacu pada Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan. Peraturan tersebut mempersempit makna lambang negara yang dimaksud ialah Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia. Masih berdasarkan aturan yang sama, disebutkan bahwa tujuan dalam pembentukan ketentuan tersebut yakni untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, menjaga kehormatan yang menunjukkan kedaulatan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan terakhir menciptakan ketertiban, kepastian, dan standardisasi penggunaan bendera, bahasa, dan lambang negara, serta
    lagu kebangsaan. Artinya, penggunaan Lambang Negara lain selain yang diatur dalam aturan itu dapat menciptakan kondisi yang berkebalikan dari tujuan awal pembentukan aturan tersebut.

    Penggunaan Lambang Negara lain selain yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan berpotensi mengganggu ketertiban, melemahkan persatuan dan kesatuan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

    Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia berbentuk Garuda Pancasila yang kepalanya menoleh lurus ke sebelah kanan, perisai berupa jantung yang digantung dengan rantai pada leher Garuda, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika ditulis di atas pita yang dicengkeram oleh Garuda. Berdasarkan Pasal 51 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan, Lambang Negara wajib digunakan di dalam gedung, kantor, atau ruang kelas satuan
    pendidikan, luar gedung atau kantor, lembaran negara, tambahan lembaran negara, berita negara, dan tambahan berita negara, paspor, ijazah, dan dokumen resmi yang diterbitkan pemerintah, uang logam dan uang kertas, meterai.