Definisi dan Arti Kata Keberatan adalah pernyataan sikap yang tidak sepenuhnya sependapat dengan keadaan yang berjalan. Keberatan dalam praktik peradilan di Indonesia dikenal dalam Hukum Pajak, Hukum Acara Pidana maupun Hukum Acara Perdata. Pengaturan keberatan dalam hukum acara pidana dapat ditemui dalam Pasal 156 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang pada pokoknya berisi ekspesi mengenai formalitas surat dakwaan maupun kompetensi lembaga peradilan. Sedangkan dalam Hukum Acara Perdata, pengaturan keberatan dapat ditemukan dalam Pasal 21 hingga Pasal 30 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana sebagai upaya hukum atas putusan gugatan sederhana. Dalam hukum pajak, keberatan merupakan upaya yang dapat ditempuh wajib pajak yang tidak puas atas suatu ketetapan pajak yang dikenakan kepadanya. Dalam hal ini, Wajib Pajak tersebut dapat mengajukan keberatan kepada Dirjen Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak di mana Wajib Pajak yang bersangkutan terdaftar.

Definisi dan Arti Kata Poligami adalah hubungan perkawinan yang terjadi dengan lebih dari satu pasangan. Poligami tidak mengenal gender, namun memiliki sub-istilah yang didasarkan pada gender yakni poligini dan poliandri. Berdasarkan peraturan perundang-undangan di Indonesia, poligami dalam bentuk poliandri diperkenankan dengan suatu putusan pengadilan. Walaupun demikian, Indonesia menganut keabsahan perkawinan berbasis agama. Oleh sebab itu, keabsahan praktik poligami harus disesuaikan dengan agama dari pelaku poligami. Selain itu, praktik poligami yang tidak sah berisiko pidana dengan kualifikasi perzinahan sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Definisi dan Arti Kata Asas Kemanfaatan ialah prinsip yang digunakan untuk mengambil kesimpulan dari sudut pandang manfaatnya. Prinsip ini biasa digunakan dalam praktik peradilan ketika Pengadilan tidak dapat menemukan lagi konsep hukum yang akan diterapkan dalam suatu perkara. Asas kemanfaatan bukan instrumen murni yang muncul dalam kajian hukum. Kajian asas kemanfaatan baru muncul dalam kajian hukum melalui teori tiga substansi hukum yang dipopulerkan oleh Gustav Radbruch. Berdasarkan kajian teoritis, asas kemanfaatan memiliki hubungan dekat dengan ajaran utilitarianisme yang mengartikan persepektif kemanfaatan sebagai cara pandang yang bertujuan untuk membuat terciptanya kebahagiaan dalam jumlah kuantitas dan kualitas terbanyak. Merujuk pada hal-hal tersebut, penerapan asas kemanfaatan dalam hukum tidak dapat dikaitkan kepada para pihak yang bersengketa melainkan lebih mengarah kepada keberpihakan masyarakat luas termasuk terjaminnya ketertiban. Pada kondisi ideal, masyarakat luas cenderung akan bahagia ketika tertib hukum dijalankan. Artinya positivisme hukum dalam kondisi ideal merupakan hal terukur yang dicita-citakan oleh masyarakat. Oleh karena itu, penerapan asas kemanfaatan untuk menabrak positivisme hukum memerlukan kajian menyeluruh terhadap dampaknya di masyarakat dan bukan hanya terpaku pada kepentingan pihak yang bersengketa saja.

Definisi dan Arti Kata Error In Persona adalah kesalahan mengenai orangnya yang diambil dari Bahasa Latin. Istilah ini merujuk pada situasi kekeliruan menentukan pihak dalam suatu hubungan hukum yang ada. Dalam praktik peradilan, error in persona dapat dibagi menjadi 3(tiga) jenis kekeliruan yakni kekeliruan dari segi penggugat (diskualifikasi in person), kekeliruan dari segi tergugat (gemis aanhoeda nigheid), dan kekeliruan dalam menilai kelengkapan pihak (Plurium Litis Consortium). Adanya kekeliruan dalam menentukan pihak tersebut dapat dibantah dengan suatu eksepsi yang biasa disebut exceptio in persona. Apabila eksepsi tersebut diterima, maka terhadap gugatan penggugat akan dinyatakan tidak dapat diterima niet ontvankelijke verklaard.

Definisi dan arti kata Nikah Siri adalah nikah secara rahasia. Makna tersebut didapat dari Bahasa Arab dalam kata sirrun. Ditinjau dari segi kebahasaan, Nikah Siri tidak hanya praktik yang dapat dilakukan oleh umat agama tertentu saja. Praktik di Indonesia terhadap nikah siri seringkali didefinisikan dengan nikah secara agama tanpa dicatatkan pada pegawai pencatat perkawinan. Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan yang dilakukan secara agama tanpa dicatatkan pada pegawai pencatat perkawinan ialah tetap sah. Oleh sebab itu, stigma nikah siri merupakan perkawinan yang tidak sah ialah keliru. Walaupun demikian, praktik nikah siri di Indonesia yang dikatakan sebagai nikah secara agama ternyata sering dilakukan dengan tidak sesuai dengan kaidah agama masing-masing pasangan. Sebagai contoh, terhadap mempelai wanita dalam perkawinan Agama Islam diperlukan wali nasab. Biasanya fungsi wali nasab tersebut dilakukan oleh penghulu tanpa kuasa maupun sepengetahuan dari wali nasab yang sah. Pertentangan praktik dengan ketentuan hukum agama pasangan nikah tersebutlah yang menjadikan nikah siri menjadi tidak sah.

Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan yang dilakukan secara agama tanpa dicatatkan pada pegawai pencatat perkawinan ialah tetap sah

Merujuk pada pengertian kebahasaan, pelaku nikah siri bermaksud untuk merahasiakan perkawinannya dikarenakan khawatir terhadap akibat hukum perkawinan. Padahal, keterbukaan mengenai ikatan perkawinan menjadi peran penting dalam ketentuan agama. Sebagai contoh dalam Agama Islam, terdapat kewajiban untuk mengumumkan perkawinannya. Oleh sebab itu, pelaku nikah siri yang beragama Islam senantiasa dilanda dilema terhadap keabsahan perkawinannya. Masih terkait sifat nikah yang rahasia tersebut, secara natura pasangan nikah siri tidak ingin perkawinannya diketahui bahkan dicatatkan. Oleh sebab itu, ketika pasangan nikah siri menginginkan atau melakukan pencatatan perkawinannya maka sifat siri tersebut sudah hapus dengan sendirinya.

Definisi dan arti kata Gugatan Rekonvensi adalah gugatan balik yang dilayangkan oleh Tergugat kepada Penggugat dalam suatu acara peradila perdata. Istilah ini muncul dari kosakata re-konvensi yang merupakan bentuk balasan atas gugatan yang dilayangkan oleh Penggugat. Dasar hukum gugatan balik terdapat pada Pasal 132a dan 132b Herzien Inlandsch Reglement,  Pasal 157 dan 158 Reglement Tot Regeling Van Het Rechtswezen In De Gewesten Buiten Java En Madura serta pasal 244 – 247 Wetboek op de Burgerlijke Rechtvordering. Berdasarkan hukum acara, gugatan balik dapat pula dilangsungkan secara lisan meskipun dalam praktik biasanya dilakukan secara tertulis. Apabila gugatan balik dilakukan secara lisan, maka peran Panitera Pengganti akan bertindak untuk mencatat gugatan balik tersebut dalam Berita Acara Persidangan.

Rekonvensi yang merupakan bentuk balasan atas gugatan yang dilayangkan oleh Penggugat

Terdapat beberapa persyaratan dalam mengajukan gugatan rekonvensi yaitu:

  1. Kewenangan Pengadilan yang memeriksa harus sama. Artinya apabila Gugatan Penggugat merupakan rumpun kewenangan Peradilan Umum, maka gugatan balik harus juga berada di rumpun kewenangan Peradilan Umum;
  2. Bukan merupakan gugatan perlawanan atas eksekusi putusan pengadilan. Hal ini dikarenakan gugatan perlawanan atas eksekusi bukan lagi merupakan persengketaan pokok perkaranya;
  3. Kapasitas Hukum awal Penggugat dengan Tergugat harus sama dalam gugatan balik. Apabila Penggugat bertindak sebagai dirinya sendiri sedangkan Tergugat juga demikian, maka gugatan balik tidak dapat menyerang kapasitas Penggugat selaku kuasa/perwakilan pihak lain. Demikian pula dengan Tergugat tidak dapat melakukan gugatan balik atas dasar kuasa/perwakilan pihak lain;
  4. Dilakukan bersamaan dengan agenda jawaban. Apabila terlewat, maka gugatan balik tidak dapat diajukan kembali sekalipun dalam pemeriksaan ulangan pada tingkat banding;
  5. Gugatan Rekonvensi harus memuat jelas alasan gugatan dan tuntutan haknya sebagaimana dalam Gugatan Asal;

Gugatan balik diperiksa bersama-sama dengan gugatan awal. Sekalipun hukum acara memperkenankan dijatuhkannya putusan gugatan awal terlebih dahulu kemudian baru gugatan balik, namun pemeriksaan tersebut harus dilangsungkan oleh hakim yang sama. Praktik persidangan mengakomodir hal tersebut dengan mempertimbangkan lebih dahulu gugatan awal sebelum mempertimbangkan gugatan balik. Dalam hal Gugatan Konvensi dicabut, maka Gugatan Rekonvensi secara otomatis tercabut pula. Hal ini sehubungan dengan hak mencabut Gugatan Penggugat setelah agenda jawaban dari Tergugat berada pada izin dari Tergugat. Sehingga dengan izinnya tersebut secara mutatis mutandis menjadikan pencabutan Gugatan baliknya tersebut pula.

Hak mencabut Gugatan Penggugat setelah agenda jawaban dari Tergugat berada pada izin dari Tergugat. Sehingga dengan izinnya tersebut secara mutatis mutandis menjadikan pencabutan Gugatan Baliknya tersebut pula.

Praktik peradilan sering berpendapat bahwa gugatan rekonvensi hanya dapat diajukan apabila memiliki hubungan kausalitas dengan gugatan konvensinya. Pendapat ini mendapat kritikan keras sehubungan hukum acara tidak mengecualikan kewajiban hubungan kausalitas tersebut. Padahal sebagaimana ketentuan hukum acara yang bersifat tertutup, penafsiran terhadap hukum acara ialah sangat dilarang. Ketentuan pengecualian sebagaimana Pasal 132 Herzien Inlandsch Reglement bersifat tertutup yang artinya tidak dapat ditambahkan pengecualian-pengecualian selain yang disebutkan. Akibat praktik tersebut, setiap Gugatan Konvensi yang ditolak maupun tidak dapat diterima akan mengakibatkan Gugatan Rekonvensi menjadi tidak dapat diterima secara otomatis. Selain itu, Gugatan Rekonvensi yang berbeda pokok kausalitasnya dengan gugatan konvensi biasanya juga akan dijatuhkan putusan tidak dapat diterima.

Definisi dan arti kata Traktat adalah salah satu bentuk perjanjian internasional yang diterjemahkan dari Bahasa Inggris Treaty. Traktat sering disebut sebagai salah satu sumber hukum, namun dalam praktiknya sangat sulit diterapkan apabila belum diadopsi melalui hukum nasional suatu negara.

Definisi dan arti kata Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. Istilah tersebut dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja. Dalam hukum bisnis, Direksi sering disebut sebagai Board of Director. Sekalipun sebagai wakil perseroan, Direksi bukanlah pihak yang tepat untuk dipandang sebagai perseroan itu sendiri. Sehingga dalam membuat perjanjian, korespondensi, maupun mengajukan gugatan, seharusnya Direksi tidak disebutkan untuk dimaksudkan sebagai perseroan terbatas itu sendiri melainkan cukup sebagai wakil dari perseroan. Selain itu, Direksi juga tidak dapat dianggap pemilik dari perseroan meskipun jalannya perseroan sangat bergantung pada keputusan bisnis dari Direksi. Anggota dari Direksi biasa disebut Direktur. Kewenangan setiap Direktur dapat dibatasi melalui Anggaran Dasar/Akta Pendirian/Rapat Umum Pemegang Saham. Apabila kewenangan Direktur didapatkan melalui pelimpahan kewenangan dari Direktur lainnya dalam bentuk surat keputusan, surat kuasa, maupun bentuk dokumen lainnya, maka pertanggungjawabannya bergantung pada mekanisme pelimpahan kewenangan yang diberikan.

Direksi dalam menjalankan perseroan diberikan kepercayaan penuh oleh pemegang saham untuk mengelola modal yang telah disetorkan ke dalam perseroan. Oleh sebab itu, Direksi terikat dengan doktrin fiduciary duty dan bussiness judgement rule yang pada akhirnya diharapkan sampai pada titik tata kelola perusahaan yang baik. Kewenangan Direksi yang begitu besar dalam mengelola modal tadi menyebabkan direksi dimungkinkan untuk berlaku curang. Oleh sebab itu, dimungkinkan baginya untuk bertanggung jawab atas kesalahannya dengan menangung kewajiban perseroan terbatas secara pribadi. Hal ini disebut sebagai doktrin piercing the corporate veil.

Direksi terikat dengan doktrin fiduciary duty dan bussiness judgement rule yang pada akhirnya diharapkan sampai pada titik tata kelola perusahaan yang baik

Direktur diangkat dan diberhentikan melalui akta pendirian perseroan terbatas atau melalui Rapat Umum Pemegang Saham. Direktur yang diangkat tidak melalui Akta Pendirian/Rapat Umum Pemegang Saham, bukan merupakan bagian dari Organ Perseroan Terbatas melainkan dianggap sebagai tenaga kerja perseroan terbatas tersebut. Oleh sebab itu, terhadapnya tidak berlaku ketentuan mengenai perseroan terbatas melainkan berlaku ketentuan mengenai ketenagakerjaan. Direktur dapat pula merangkap jabatan sebagai pemegang saham.

Direktur yang diangkat tidak melalui Akta Pendirian/Rapat Umum Pemegang Saham, bukan merupakan bagian dari Organ Perseroan Terbatas melainkan dianggap sebagai tenaga kerja perseroan terbatas tersebut

Syarat untuk dapat menjadi Direktur Perseroan Terbatas adalah dalam 5(lima) tahun terakhir sebelum diangkat tidak pernah termasuk dalam hal-hal sebagai berikut :

  1. dinyatakan pailit;
  2. menjadi anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris yang dinyatakan bersalah
    menyebabkan suatu Perseroan dinyatakan pailit; atau
  3. dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara dan/atau
    yang berkaitan dengan sektor keuangan.

Syarat itu merupakan syarat umum dan dapat ditambah sesuai dengan kebutuhan perseroan/peraturan teknis lainnya. Sedangkan untuk gaji Direktur, wajib ditetapkan melalui Rapat Umum Pemegang Saham.

Dalam hal tertentu, Direktur dapat diberhentikan sementara oleh Dewan Komisaris. Kewenangan Direktur yang diberhentikan sementara itu, akan dilaksanakan oleh siapa di dalam Anggaran Dasar/Akta Pendirian telah menyebutkannya. Biasanya kewenangan ini akan diambil oleh Anggota Direksi lainnya. Bilamana Akta Pendirian/Anggaran Dasar tidak menyebutkan peralihan kewenangan sementara itu, maka harus diadakan Rapat Umum Pemegang Saham untuk memberikan kewenangan tersebut. Secara hukum, Direktur hanya boleh diangkat untuk jangka waktu tertentu dan untuk selanjutnya dapat diangkat kembali melalui Rapat Umum Pemegang Saham. Dalam praktik, biasanya Akta Pendirian mencantumkan klausul masa jabatan Direksi selama 5(lima) tahun. Praktik di lapangan, sering ditemukan banyak Direktur yang belum diangkat kembali setelah jangka waktu tersebut. Dalam hal ini, Direktur yang bersangkutan secara hukum harus dianggap tidak berwenang untuk mewakili perseroan. Pihak ketiga beriktikad baik yang sudah melakukan perikatan dengan Direktur tersebut seharusnya dilindungi oleh hukum dengan tetap mempertahankan perikatannya. Sedangkan dari sisi perseroan, perbuatan Direktur tidak wenang tersebut dapat diserap melalui Rapat Umum Pemegang Saham maupun Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak oleh Direksi yang masih berwenang.

Praktik di lapangan, sering ditemukan banyak Direktur yang belum diangkat kembali setelah jangka waktu tersebut. Dalam hal ini, Direktur yang bersangkutan secara hukum harus dianggap tidak berwenang untuk mewakili perseroan

Dikarenakan Direksi dipilih melalui mekanisme Rapat Umum Pemegang Saham, maka secara praktis Direksi merupakan orang pilihan dari Pemegang Saham mayoritas. Oleh sebab itu, dimungkinkan bagi Direksi untuk melakukan tindakan yang menguntungkan Pemegang Saham mayoritas namun merugikan Pemegang Saham minoritas. Sebagai contoh, Direksi menjual aset perseroan secara langsung kepada Pemegang Saham Mayoritas dengan harga di bawah harga pasar. Dalam kejadian tersebut, Pemegang Saham minoritas akan mengalami kerugian berupa pengurangan nilai aset perseroan yang menyebabkan secara akuntansi harga saham yang dimiliki oleh pemegang saham minoritas ikut menurun. Hukum Perseroan Terbatas oleh sebab itu memberikan perlindungan dengan memberikan hak pemegang saham minoritas untuk mengajukan gugatan derivatif, yakni gugatan perseroan yang diwakili oleh pemegang saham minoritas terhadap direksi beriktikad buruk.

Direksi maupun Direktur pada praktiknya sering digunakan untuk orang yang bertanggungjawab secara langsung dalam suatu organisasi maupun perusahaan selain perseroan terbatas. Dalam hal ini, ketentuan mengenai perseroan terbatas tentu tidak dapat diberlakukan terhadap Direksi maupun Direktur tersebut. Padanan kata dalam bisnis terhadap Direktur didapati Presiden Direktur, Chief Executive Officer, Chief Technology Officer, dan sebagainya. Perbedaan paling mencolok dari istilah-istilah tersebut ialah kewenangannya dalam mengurus perseroan. Dalam hukum Indonesia, kewenangan itu diatur dalam akta pendirian/anggaran dasar perseroan.