Definisi dan Arti Kata Ultra Petita adalah frasa Latin yang secara harfiah berarti “lebih dari yang diminta.” Dalam konteks hukum, istilah ini merujuk pada situasi di mana hakim membuat keputusan yang melebihi ruang lingkup permohonan atau tuntutan yang diajukan oleh salah satu pihak dalam kasus tersebut. Hal ini bertentangan dengan asas peradilan yakni asas non ultra petita.

Dalam proses pengadilan, para pihak biasanya mengajukan permohonan atau tuntutan tertentu kepada pengadilan untuk dipertimbangkan. Dalam konteks ultra petita, hakim akan memberikan putusan melebihi atau keluar dari yang diminta oleh para pihak tersebut. Sebagai contoh sempit, Penggugat mengajukan tuntutan ganti rugi sebesar Rp.100.000.000,00 (seratus juta Rupiah) namun oleh hakim diberikan putusan ganti kerugian sebesar Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta Rupiah). Dalam contoh yang lebih luas, Penggugat mengajukan gugatan wanprestasi namun oleh hakim diputuskan tergugat melakukan wanprestasi bersamaan dengan perbuatan melawan hukum.

Putusan ultra petita secara umum berangkat dari perspektif yang lebih menguntungkan kepada pihak yang mengajukan persengketaan. Hal ini dapat terlihat dari pertimbangan maupun putusan yang akan mendukung dan/atau membenarkan kesalahan maupun kekurangan dari pengaju sengketa bahkan memberikan keuntungan lebih kepadanya.

Putusan ultra petita secara umum akan memunculkan diskusi moral yang menarik. Sudut pandang persengketaan secara umum harus mengacu pada koherensi tuntutan dan alasan hukum dari Pengaju Sengketa. Dalam konteks ini, Pengaju Sengketa harus dipandang hanya meminta sejauh mana ia membutuhkannya. Jatuhnya putusan ultra petita akan menyebabkan pertanyaan, mengapa pihak lain harus dihukum untuk memenuhi kebutuhan dengan berlebihan terhadap pengaju sengketa?

Praktik peradilan seringkali menciptakan keadaan hakim untuk memutus secara ultra petita. Hal ini terjadi seringkali karena kegagalan penggugat untuk memformulasikan gugatan/tuntutan sesuai dengan konteks hukumnya namun konteks gugatan/tuntutan masih dapat dipahami dengan dukungan pembuktian yang tepat. Secara teoritis, kegagalan formulasi dalam gugatan/tuntutan seharusnya merupakan kecacatan formil yang menyebabkan proses peradilan tidak dapat diputuskan dengan lugas mengenai pokok perkaranya. Namun pertimbangan asas cepat, sederhana, biaya ringan seringkali meng-intervensi hal tersebut sejauh mana gugatan/tuntutan secara maksud dapat dipahami dengan pula didukung alat bukti yang jelas. Secara teoritis, ultra petita yang dibenarkan hanya dapat dilakukan oleh hakim sejauh mana hakim diberikan kewenangan untuk itu. Hal ini sering dikenal dengan pertimbangan ex officio.

Definisi dan Arti Kata Putusan Serta Merta adalah putusan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu sebelum putusan tersebut berkekuatan hukum tetap. Istilah ini lazim dikenal sebagai uitvoerbaar bij voorraad yang kaidah utamanya dapat dirujuk melalui Surat Edaran Nomor 3 Tahun 2000 tentang Putusan Serta Merta (Uitvoerbaar Bij Voorraad) dan Provisionil. Kaidah putusan serta merta pada prinsipnya menyimpangi kaidah pelaksanaan putusan yang harus dalam keadaan berkekuatan hukum tetap. Oleh sebab itu penjatuhan putusan serta merta harus didasarkan pada suatu pertimbangan yang mendekati kepastian mutlak. Berdasarkan Surat Edaran tersebut setidaknya ada beberapa parameter yang perlu diperhatikan dalam penjatuhan putusan serta merta, yakni sebagai berikut:

  1. Gugatan didasarkan pada bukti surat autentik atau surat tulisan tangan (handschrift) yang tidak dibantah kebenaran
    tentang isi dan tanda tangannya, yang menurut Undang-Undang tidak mempunyai kekuatan bukti;
  2. Gugatan tentang Hutang-Piutang yang jumlahnya sudah pasti dan tidak dibantah;
  3. Gugatan tentang sewa menyewa tanah, rumah, gudang dan lain-lain, dimana hubungan sewa menyewanya sudah habis lampau, atau Penyewa yang beriktikat baik;
  4. Pokok gugatan mengenai tuntutan pembagian harta perkawinan (gono-gini) setelah mengenai putusan mengenai
    gugatan cerai mempunyai kekuatan hukum tetap;
  5. Gugatan berdasarkan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) dan mempunyai hubungan dengan pokok gugatan yang diajukan;
  6. Pokok sengketa mengenai bezitsrecht;
  7. Adanya pemberian jaminan yang nilainya sama dengan nilai barang/objek eksekusi, sehingga tidak menimbulkan kerugian pada pihak lain, apabila ternyata dikemudian hari dijatuhkan putusan yang membantalkan putusan Pengadilan Tingakat Pertama.
  8. Apabila Pengugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri atau Ketua Pengadilan Agama agar Putusan Serta Merta dilaksanakan, maka permohonan tesebut beserta berkas perkara selengkapnya dikirim ke Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Tinggi Agama disertai pendapat dari Ketua Pengadilan Negeri dan Ketua Pengadilan Agama yang bersangkutan.

Definisi dan Arti Kata Persekusi adalah segala tindakan yang pada pokoknya merupakan perbuatan sewenang-wenang terhadap seseorang atau kelompok untuk disakiti, dipersusah, atau ditumpas. Definisi tersebut mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia. Praktik bermasyarkat mengartikan persekusi sebagai tindakan sewenang-sewenang/menganiaya yang awalnya dari kata-kata kebencian, penghinaan melalui media sosial, kemudian oleh pihak yang merasa terhina atau sakit hati memburu, mendatangi atau“digruduk” secara langsung di kediaman lalu disitulah pihak yang merasa sakit hati kemudian melakukan intimidasi.  Pola persekusi yang terjadi akhir-akhir ini, meliputi :

  • Menelusuri orang-orang di media sosial yang dianggap melakukan penghinaan.
  • Menginstruksikan massa untuk memburu target yang sudah dibuka identitas, foto dan alamat.
  • Mendatangi rumah atau kantor, melakukan intimidasi, dan dalam beberapa kasus dipukul, dipaksa menandatangani surat permohonanan maaf bermeterai, ada pula yang didesak agar ia dipecat.

Secara hukum, belum ditemukan adanya istilah tindak pidana persekusi

Klasifikasi tindak pidana persekusi hingga tahun 2017 belum pernah dimuat dalam suatu instrumen hukum yang mengikat di Indonesia. Oleh sebab itu, tuduhan tindak pidana persekusi adalah suatu kesalahan secara keilmuan hukum. Sebagaimana diketahui, hukum pidana menganut asas legalitas yang menyatakan, ‘tidak ada hukuman, kalau tak ada ketentuan Undang-Undang yang mengaturnya.’ Asas tersebut merupakan asas mendasar yang wajib dipahami oleh sarjana hukum. Oleh karena itu, penggunaan istilah tindak pidana persekusi untuk menilai suatu perbuatan hukum seharusnya tidak mungkin dilakukan oleh ahli-ahli hukum.

Pada praktiknya, perbuatan hukum persekusi yang dituduhkan akhirnya ditegakkan melalui pasal-pasal biasa dalam KUHP seperti pengacancaman, penganiayaan, penghinaan, kekerasan, pengrusakan atau beberapa pasal dalam Undang-Undang Informasi Teknologi Elektronik apabila media yang digunakan utnuk melakukan perbuatan melawan hukum tersebut berhubungan dengan media elektronik. Penegakan hukum tersebut semakin menjelaskan bahwa penggunaan istilah persekusi dalam dunia hukum belum diakui keabsahannya. Walaupun hanya sekadar istilah yang digunakan, keilmuan hukum sangat detail mengenai istilah yang digunakan karena dapat mengakibatkan kesesatan berfikir dan kesalahan dalam penafsiran hukum yang mengakibatkan chaos pada sistem hukum.

Definisi dan arti kata Primair adalah utama, prima, premium, pokok dari sisi kebahasaannya. Penggunaan istilah ini dalam dunia hukum biasanya terdapat dalam surat gugatan maupun surat dakwaan. Walaupun tidak mutlak sama, kedua jenis dokumen pengadilan tersebut memiliki konstruksi dasar yang sama yakni permintaan pokok untuk dikabulkan oleh hakim. Oleh sebab itu, munculnya petitum primair (pokok) harus disertai dengan petitum non pokok sebagai alternatif bagi hakim selaku pengabul permohonan. Walaupun demikian, sebagai permintaan pokok, petitum primair wajib dibuktikan terlebih dahulu dan menjadi parameter bagi hakim agar jauh dari ultra petita.

Petitum Primair menjadi parameter hakim agar tidak ultra petita

Dalam tataran praktik, gugatan atau dakwaan primair senantiasa disandingkan dengan gugatan atau dakwaan subsidair. Baik gugatan subsidair maupun dakwaan subsidair dapat dipersamakan dengan permintaan alternatif, dengan catatan perbuatan hukum yang dinyatakan dalam posita merupakan perbuatan hukum yang sama. Sedangkan hakim hanya tinggal menilai putusan apa yang cocok untuk diterapkan atas perbuatan hukum yang terjadi berdasarkan permintaan-permintaan tersebut.

Tidak banyak dasar hukum untuk membahas mengenai istilah primair. Dalam hukum pidana, terdapat Surat Edaran Jaksa Agung Nomor SE-004/J.A/11/1993 tentang Pembuatan Surat Dakwaan. Sedangkan dalam hukum perdata, lebih cenderung kepada kebiasaan yang terjadi dalam praktik litigasi. Namun karena kebiasaan merupakan salah satu sumber hukum, maka selama belum ada peraturan yang menyatakan pengertian lain selain dari kebiasaan yang ada istilah primair hanya terbatas pada konteks-konteks yang telah dijelaskan tersebut di atas.