Definisi dan Arti Kata Abuse of Right ialah penyalahgunaan hak. Istilah ini dapat dipadankan dengan Abus de Droit secara umum dan perbuatan sewenang-wenang dalam Hukum Administrasi Negara. Sebagai istilah hukum umum, Abuse of Right memandang hak secara luas dalam berbagai aspek hukum. Istilah ini pada prinsipnya mengacu pada kondisi penggunaan hak yang mengakibatkan terlanggarnya hak orang lain. Untuk dapat dinyatakan sebagai tindakan yang Abuse of Right, terdapat beberapa kriteria yang dapat ditelaah, yakni sebagai berikut:

  1. Hak yang muncul memang ditujukan untuk melanggar hak orang lain;
  2. Hak yang digunakan tidak memiliki hubungan kepentingan rasional dengan pemilik hak;
  3. Hak yang digunakan dengan iktikad buruk; dan/atau
  4. Hak yang digunakan bertentangan dengan hukum umum, moral serta keadilan.

Sebagai contoh, setiap orang berhak mengajukan merek sesuai dengan ide yang mereka miliki. Namun hak mengajukan merek tersebut menjadi disalahgunakan ketika yang mengajukan tanpa bisnis yang menggambarkan idenya, sedangkan dirinya tahu bahwa ada bisnis lain yang telah menggunakan merek tersebut namun tidak mendaftarkannya. Dalam contoh tersebut, hak mengajukan merek tersebut digunakan semata-mata untuk mencari keuntungan atas merek yang secara nyata ditujukan untuk merugikan pemilik bisnis lain.

Definisi dan Arti kata Abus de Droit adalah tindakan yang menggunakan haknya guna melanggar hak orang lain. Perbuatan tersebut biasanya sering disebut sebagai perbuatan sewenang-wenang yang muncul dalam Hukum Administrasi Negara. Istilah ini muncul dari kontradiksi ajaran bahwa setiap orang yang memiliki hak menimbulkan kewajiban bagi orang lain terhadap hak tersebut. Kontradiksi tersebut muncul karena pada kenyataannya, seseorang yang menggunakan haknya dapat pula melanggar hak orang lain. Sebagai contoh hak membangun gedung pada tanah miliknya sendiri dapat melanggar hak tetangga untuk mendapatkan cahaya matahari. Istilah ini berasal dari Bahasa Prancis dan memiliki padanan kata Abuse of Right.

Definisi dan arti kata Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak adalah surat yang dibuat dengan isi pembebanan pertanggungjawaban mutlak kepada pembuat surat tersebut. Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak biasa disebut dengan SPTJM. Surat ini biasanya dibuat guna memotong jalur substantif dengan mekanisme administratif agar tercapai kelancaran administratif. Sebagai contoh, terhadap kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah yang jatuh tempo penyelesaian pekerjaannya pada tanggal 31 Desember tahun berjalan, tidak mungkin dapat dibayarkan karena anggaran negara biasanya sudah ditutup pencairannya pada minggu kedua/ketiga tahun berjalan. Oleh sebab itu, biasanya Pejabat Pembuat Komitmen akan membuat SPTJM guna ‘menganggap’ pekerjaan penyedia telah selesai sehingga anggaran negara dapat dicairkan.

Surat ini biasanya dibuat guna memotong jalur substantif dengan mekanisme administratif agar tercapai kelancaran administratif

Akibat hukum dari pembuatan surat ini ialah terjadinya pertanggungjawaban mutlak kepada si pembuat surat. Dalam hal pengadaan barang/jasa di maksud, maka apabila terdapat kerugian negara bilamana penyedia tidak menyelesaikan pekerjaannya, maka akan menjadi tanggung jawab si pembuat surat. Oleh sebab itu, pembuat surat secara serta merta telah sanggup untuk mengganti kerugian negara yang terjadi tersebut. Selain itu, apabila SPTJM dibuat tanpa mitigasi risiko yang sepatutnya, bahkan cenderung koruptif, maka pembuat SPTJM dapat dituntut dalam kaitan tindak pidana sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Saat ini Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak menjadi hal lazim dalam administrasi pemerintahan. Terbaru, Pemerintah menggunakan mekanisme ini dalam pencatatan sipil bilamana syarat-syarat tertentu tidak dapat dipenuhi oleh pemohon pencatatan sipil. Sebagaimana konsep SPTJM semula, maka pemohon pencatatan sipil dimaksud dapat dikenai pertanggungjawaban tertentu akibat SPTJM yang dibuatnya bilamana tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya. Selain itu potongan substantif dengan menggunakan jalur administratif dalam pembuatan SPTJM tersebut, membuat pencatatan sipil yang dilakukan menjadi bersifat relatif. Sifat tersebut sejatinya bertentangan dengan sifat akta autentik sehingga perlu kehati-hatian dalam menggunakan catatan sipil yang dibuat dengan mekanisme SPTJM.

Definisi dan arti kata Mandat adalah pelimpahan Kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat tetap berada pada pemberi mandat. Definisi ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1  angka 24 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Pejabat muasal dalam pemberian mandat, harus memperoleh kewenangan muasalnya dari pelimpahan kewenangan secara atribusi maupun delegasi. Mandat biasanya dilaksanakan untuk melakukan tugas rutin, baik karena Pejabat muasal bersangkutan berhalangan tetap maupun berhalangan sementara. Dalam menjalankan mandat, penerima mandat perlu secara tegas menyatakan dirinya sebagai penerima mandat. Oleh sebab itu, dalam tata administrasi sering digunakan istilah atas nama (a.n), untuk beliau (u.b), melaksanakan mandat (m.m), atau melaksanakan tugas (m.t).

Mandat biasanya dilaksanakan untuk melakukan tugas rutin, baik karena Pejabat muasal bersangkutan berhalangan tetap maupun berhalangan sementara

Mandat merupakan kewenangan relatif subjektif pemberi mandat, sehingga dapat ditarik sewaktu-waktu tanpa perlu persetujuan dari penerima mandat. Oleh sebab itu, kewenangan untuk membuat keputusan strategis tidak dapat dimandatkan.

Definisi dan arti kata Atribusi adalah penyerahan wewenang dalam menjalankan pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan. Mengacu pada pengertian tersebut, atribusi hanya dapat diterapkan pada tipe pemerintahan yang menerapkan pemisahaan kekuasaan yakni legislatif dan eksekutif. Dari sisi politik hukum, legislatif ialah pemilik legitimasi tertinggi dalam menjalankan roda pemerintahan suatu negara. Oleh sebab itu pemberian kewenangan yang diberikan oleh legislatif kepada organ eksekutif melalui undang-undang yang dibuatnya, memiliki legitimasi kekuasaan yang dominan. Turunan dari legitimasi kekuasaan tersebutlah yang menyebabkan kewenangan atribusi bersifat murni, sehingga dapat diperluas dalam berbagai bentuk untuk menjalankan kewenangan tersebut dengan baik.

Kewenangan Atribusi dapat diperluas untuk menjalankan kewenangan yang diberikan

Definis Atribusi dapat pula ditemukan dalam Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yakni pemberian Kewenangan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau Undang-Undang.

Definisi dan arti kata Diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. Definisi tersebut merupakan pengertian tertutup menurut Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Oleh karena itu, pengertian dari diskresi tidak dimungkinkan untuk mendapatkan tafsir lain selain yang telah ditentukan dalam undang-undang tersebut.

Pengertian diskresi dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan memuat beberapa unsur sebagai berikut :

1. Keputusan dan/atau Tindakan yang Ditetapkan dan/atau Dilakukan

Unsur ini mengindikasikan bahwa diskresi diwujudkan melalui suatu perbuatan maupun melalui surat keputusan. Artinya, diskresi tidak mutlak harus diwujudkan melalui suatu produk hukum tertulis melainkan dapat cukup dilakukan dengan suatu perbuatan aktif maupun perbuatan pasif. Perbuatan aktif diartikan sebagai perbuatan yang nyata dilakukan sehingga memunculkan akibat hukum. Sebagai contoh memberikan membuat pernyataan yang memuat tentang suatu sudut pandang. Sedangkan perbuatan pasif adalah adalah perbuatan yang tidak dilakukan namun memunculkan akibat hukum. Sebagai contoh tidak diambilnya tindakan oleh aparat berwenang dalam melakukan penegakan hukum.

Tidak ada diskresi selain pada unsur pemerintahan.

2. Pejabat Pemerintahan

Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan memberikan pengertian mengenai Pejabat Pemerintahan yang dapat melakukan diskresi. Pejabat tersebut terbatas pada unsur yang melaksanakan Fungsi Pemerintahan, baik di lingkungan pemerintah maupun penyelenggara negara lainnya. Oleh karena itu, diskresi dalam konteks ini hanya terbatas pada unsur yang melaksanakan fungsi pemerintahan. Tidak ada diskresi selain pada unsur pemerintahan.

3. Mengatasi Persoalan Konkret yang Dihadapi dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

Unsur ini merupakan unsur tujuan dari pelaksanaan diskresi. Artinya, setiap tindakan diskresi harus dibuktikan dengan adanya persoalan konkret yang harus diselesaikan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Tanpa adanya persoalan konkret (persoalan masih merupakan isu di masa yang akan datang), diskresi tidak diperkenankan.

4. Dalam Hal Peraturan Perundang-Undangan yang Memberikan Pilihan, Tidak Mengatur, Tidak Lengkap atau Tidak Jelas, dan/atau Adanya Stagnasi Pemerintahan

Unsur ini merupakan syarat dari pelaksanaan diskresi. Diskresi secara umum tidak dapat dilaksanakan apabila persoalan konkret telah diatur secara konkret dalam suatu peraturan perundang-undangan. Hal tersebut dapat diperluas apabila adanya stagnasi dalam pemerintahan.

Diskresi merupakan tindakan di luar peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh unsur pemerintahan. Karena sifatnya merupakan keputusan dengan parameter penilaian benar/salah yang sangat luas, maka diskresi harus dilakukan dengan pertimbangan yang matang.

Definisi dan arti kata P41 adalah

  • Kode yang didasarkan pada Keputusan Jaksa Agung RI No. 518/A/J.A/11/2001 tanggal 1 Nopember 2001 tentang Perubahan Keputusan Jaksa Agung RI No. 132/JA/11/1994 tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana yang berarti Rencana Tuntutan Pidana.
  • Definisi dan arti kata P42 adalah

  • Kode yang didasarkan pada Keputusan Jaksa Agung RI No. 518/A/J.A/11/2001 tanggal 1 Nopember 2001 tentang Perubahan Keputusan Jaksa Agung RI No. 132/JA/11/1994 tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana yang berarti Surat Tuntutan.
  • Definisi dan arti kata P43 adalah

  • Kode yang didasarkan pada Keputusan Jaksa Agung RI No. 518/A/J.A/11/2001 tanggal 1 Nopember 2001 tentang Perubahan Keputusan Jaksa Agung RI No. 132/JA/11/1994 tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana yang berarti Laporan Tuntuan Pidana.