Definisi dan Arti Kata Fakta Hukum adalah fakta yang diakui oleh hukum. Istilah ini dapat dipersamakan dengan fakta di persidangan karena proses perolehan fakta hukum ialah melalui proses persidangan. Fakta hukum dimungkinkan untuk berbeda dari kejadian sebenarnya. Hal ini mengingat fakta hukum merupakan pengambilan kesimpulan oleh hakim dalam menilai alat bukti yang dihadirkan ke persidangan. Apabila alat bukti yang dihadirkan tidak lengkap, maka pengambilan kesimpulan tersebut dapat berbeda dari kejadian sebenarnya. Selain itu, kemampuan hakim dalam pengambilan kesimpulan berdasarkan alat bukti akan mempengaruhi validitas fakta hukum dibandingkan dengan kejadian yang sebenarnya. Terlepas dari hal tersebut, fakta hukum merupakan fakta yang sah untuk digunakan dalam menilai suatu hubungan hukum dan menjatuhkan putusan.

Definisi dan Arti Kata Fakta Notoir adalah fakta yang sudah dikenal. Istilah ini merupakan serapan dari Bahasa Belanda yang sama padanannya dengan pengertian dari notoire feiten notorious. Dalam Bahasa Inggris, istilah ini disamakan dengan istilah generally known. Fakta Notoir merupakan fakta yang disimpulkan bukan berdasarkan pembuktian, melainkan berdasarkan kelaziman yang tidak dapat dibantah lagi. Karena merupakan bagian dari penilaian fakta, istilah ini hanya berlaku bagi penilaian peristiwa hukum dan bukan mengenai kaidah hukumnya. Kelaziman yang dimaksud ialah kelaziman universal, seperti benda yang jatuh dari peristiwa hujan selalu membawa air dan menciptakan basah. Contoh fakta notoir yang demikian menyebabkan dalil mengenai hujan yang menyebabkan basah tidak perlu dibuktikan kembali. Apabila terhadap dalil yang menyebutkan hujan abu, hujan darah, maupun hujan-hujan lainnya maka terhadapnya perlu dibuktikan apakah benar hujan tersebut merupakan hujan abu, hujan darah, maupun sebaliknya. Kaidah fakta notoir memberikan keringanan beban pembuktian dan mempermudah jalannya persidangan mengingat kaidah utama pembuktian ialah siapa yang mendalilkan ia yang membuktikan. Tanpa adanya kaidah fakta notoir, maka peristiwa hujan menyebabkan basah sekalipun harus dibuktikan. Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, fakta notoir dapat ditemukan dalam Pasal Pasal 184 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Definisi dan arti kata Peristiwa Hukum adalah

  • semua kejadian atau fakta yang terjadi dalam kehidupan masyarakat yang mempunyai akibat hukum, misaln perkawinan atau pria dan wanita sehingga menimbulkan akibat hukum yang diatur  oleh  yaitu hak dan kewajiban masing-masing
  • Definisi dan Arti Kata Novum adalah keadaan/bukti baru. Kata ini berasal dari istilah noviter perventa dalam Bahasa Latin yang berarti baru ditemukan. Di Indonesia, novum disandingkan dengan syarat pengajuan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (2) huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Pasal 67 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Logika hukum dari novum dibangun dari kesalahan pengambilan keputusan oleh badan peradilan akibat fakta hukum yang terungkap di persidangan merupakan fakta hukum yang salah.

    Novum bertindak sebagai pengoreksi dari kekeliruan penilaian atas fakta hukum di persidangan.

    Sebagaimana diketahui, badan peradilan senantiasa memutus berdasarkan fakta hukum yang dihadirkan di persidangan dikarenakan hakim tidak berada pada peristiwa sebenarnya saat itu terjadi. Banyaknya variabel dalam proses hukum acara, memungkinkan kurang, cacat, kekeliruan dalam mengajukan alat bukti sehingga kesimpulan mengenai fakta hukumnya pun menjadi keliru. Novum bertindak sebagai pengoreksi dari kekeliruan penilaian fakta hukum tersebut. Karena kekeliruan berada pada fakta hukum, maka kaidah hukum yang berlaku tidak dapat dijadikan sebagai novum. Selain itu, novum harus terpaku untuk membuktikan kesalahan fakta hukum sebelumnya yang keliru sehingga perbuatan hukum lanjutan setelah fakta hukum yang terjadi bukan merupakan novum.

    Dalam praktik, sering ditemukan novum diajukan berupa bukti yang baru dibuat setelah peristiwa hukum yang sebenarnya terjadi bahkan dibuat setelah suatu putusan berkekuatan hukum tetap. Padahal berdasarkan uraian definisi novum, seharusnya bukti yang diajukan merupakan bukti yang sebelumnya belum diajukan (bukti tertinggal) karena baru ditemukan atau belum dapat dihadirkan ketika tahapan peradilan sebelumnya.

    Definisi dan Arti Kata Judex Juris adalah penilaian oleh badan peradilan terhadap sengketa dengan fokus pada pertimbangan mengenai ketentuan yang akan diberlakukan. Kewenangan ini muncul setelah terang fakta hukum yang terbukti di persidangan. Kewenangan ini ialah tujuan utama lahirnya badan peradilan. Dapat dipahami, sengketa utama antar para pihak hakikatnya merupakan sengketa hukum dan bukan merupakan sengketa fakta. Hal ini muncul dari pemikiran bahwa para pihak sejatinya sudah mengetahui peristiwa hukum yang sebenarnya terjadi, namun tidak mengetahui siapa yang benar dan siapa yang salah dihadapan hukum sehingga perlu dinilai oleh Hakim terhadap perbuatan mereka tersebut. Melihat dari pemahaman ini, maka Judex Juris seharusnya ditempatkan sebagai garda terakhir dalam menyelesaikan masalah hukum di masyarakat. Di Indonesia, kewenangan ini dilekatkan pada Mahkamah Agung sehingga dalam praktiknya Mahkamah Agung biasanya akan menolak perkara yang diajukan padanya dengan alasan pengajuan perkara merupakan penilaian kembali pada fakta hukumnya. Namun demikian, dengan pertimbangan kewenangan Mahkamah Agung untuk memperbaiki putusan tingkat sebelumnya, Mahkamah Agung juga pernah menilai kembali pada fakta hukumnya.

    Definisi dan arti kata Diktum adalah

  • Suatu kesimpulan dari kegiatan penafsiran terhadap kaedah hukum (in abstracto) yang dilakukan oleh hakim terhadap fakta-fakta hukum yang telah diuji di pengadilan (in concretto)
  • Definisi dan arti kata Judex Facti adalah penilaian oleh Badan Peradilan terhadap sengketa yang telah diperiksa dengan didasarkan pada prioritas untuk menilai fakta hukumnya. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa Hakim dalam suatu Badan Peradilan, bagaimanapun juga tidak hadir ketika peristiwa hukum tersebut terjadi sehingga sejatinya Hakim tidak dapat menilai situasi sebenarnya dari peristiwa hukum yang terjadi. Berdasarkan pemahaman tersebut, tugas utama Judex Facti ialah menarik kesimpulan dari alat bukti yang diajukan dengan tujuan utama menggambarkan peristiwa hukum yang terjadi. Sekalipun prioritas judex facti ialah penilaian fakta hukumnya, namun fungsi badan peradilan untuk memberikan keputusan atas suatu masalah tetap melekat padanya. Oleh sebab itu, terhadap peristiwa hukum yang telah digambarkan oleh Hakim tersebut selanjutnya diberi keputusan berdasarkan hukum yang berlaku. Di Indonesia, kewenangan ini secara umum dilekatkan pada Pengadilan Tingkat Pertama dan Pengadilan Tingkat Banding.
    Secara kebahasaan, judex facti berasal dari Bahasa Latin yang artinya hakim fakta. Beberapa literatur menuliskannya sebagai judex factie yang seharusnya dipandang kurang tepat jika menyadur konteks bahasa asing tersebut. Judex facti secara fungsi nampak berbeda dengan judex jurist. Walaupun demikian, sejatinya keduanya bukan merupakan konotasi melainkan lebih condong pada penajaman konteks penilaian dalam persidangan.

    Definisi dan Arti Kata Ius Corrigendi adalah frasa Latin yang secara harfiah berarti “hak untuk memperbaiki.” Istilah ini digunakan dalam konteks hukum untuk merujuk pada hak atau kewenangan yang dimiliki oleh pengadilan atau otoritas hukum untuk mengoreksi atau memperbaiki kesalahan yang terjadi dalam proses hukum atau keputusan yang telah dibuat. Penggunaan kewenangan ini sekaligus menyatakan kesalahan badan peradilan dalam menerbitkan putusan. Ruang lingkup kesalahan dalam bahasan ini terbatas pada kesalahan yang pada dasarnya tidak dimaksud dalam putusan tersebut semisal kesalahan dalam pengetikan.

    Dalam praktiknya, “ius corrigendi” dapat mencakup berbagai tindakan atau keputusan yang diambil oleh pengadilan atau otoritas hukum untuk memperbaiki kesalahan administratif, kesalahan interpretasi hukum, atau kesalahan fakta yang mungkin terjadi dalam proses pengadilan. Misalnya, pengadilan dapat mengeluarkan perintah pengubahan atau klarifikasi terhadap putusan sebelumnya, atau membatalkan atau mengoreksi putusan yang dikeluarkan karena kesalahan.

    Walaupun dianggap sebagai suatu hak, “ius corrigendi” harus digunakan dengan hati-hati dan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku, termasuk prinsip keadilan, kepastian hukum, dan perlindungan hak-hak individu. Hal ini mengingat perbaikan putusan dalam bentuk apapun dapat menimbulkan spekulasi atas putusan yang telah diterbitkan. Dalam beberapa yurisdiksi, ada prosedur dan persyaratan khusus yang harus dipatuhi sebelum “ius corrigendi” dapat diterapkan, untuk memastikan bahwa tindakan tersebut diambil dengan kebijaksanaan dan keadilan yang tepat.

    Di Indonesia, prinsip dari Ius Corrigendi dapat ditemukan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014 yang pada prinsipnya hanya berlaku terhadap putusan yang salinannya belum diterima oleh para pihak bersengketa.