Definisi dan Arti Kata Putusan Serta Merta adalah putusan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu sebelum putusan tersebut berkekuatan hukum tetap. Istilah ini lazim dikenal sebagai uitvoerbaar bij voorraad yang kaidah utamanya dapat dirujuk melalui Surat Edaran Nomor 3 Tahun 2000 tentang Putusan Serta Merta (Uitvoerbaar Bij Voorraad) dan Provisionil. Kaidah putusan serta merta pada prinsipnya menyimpangi kaidah pelaksanaan putusan yang harus dalam keadaan berkekuatan hukum tetap. Oleh sebab itu penjatuhan putusan serta merta harus didasarkan pada suatu pertimbangan yang mendekati kepastian mutlak. Berdasarkan Surat Edaran tersebut setidaknya ada beberapa parameter yang perlu diperhatikan dalam penjatuhan putusan serta merta, yakni sebagai berikut:

  1. Gugatan didasarkan pada bukti surat autentik atau surat tulisan tangan (handschrift) yang tidak dibantah kebenaran
    tentang isi dan tanda tangannya, yang menurut Undang-Undang tidak mempunyai kekuatan bukti;
  2. Gugatan tentang Hutang-Piutang yang jumlahnya sudah pasti dan tidak dibantah;
  3. Gugatan tentang sewa menyewa tanah, rumah, gudang dan lain-lain, dimana hubungan sewa menyewanya sudah habis lampau, atau Penyewa yang beriktikat baik;
  4. Pokok gugatan mengenai tuntutan pembagian harta perkawinan (gono-gini) setelah mengenai putusan mengenai
    gugatan cerai mempunyai kekuatan hukum tetap;
  5. Gugatan berdasarkan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) dan mempunyai hubungan dengan pokok gugatan yang diajukan;
  6. Pokok sengketa mengenai bezitsrecht;
  7. Adanya pemberian jaminan yang nilainya sama dengan nilai barang/objek eksekusi, sehingga tidak menimbulkan kerugian pada pihak lain, apabila ternyata dikemudian hari dijatuhkan putusan yang membantalkan putusan Pengadilan Tingakat Pertama.
  8. Apabila Pengugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri atau Ketua Pengadilan Agama agar Putusan Serta Merta dilaksanakan, maka permohonan tesebut beserta berkas perkara selengkapnya dikirim ke Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Tinggi Agama disertai pendapat dari Ketua Pengadilan Negeri dan Ketua Pengadilan Agama yang bersangkutan.

Definisi dan Arti Kata Konstatering adalah pencocokan antara suatu objek sengketa dengan putusan/penetapan/perintah pengadilan yang memuat hal-hal mengenai objek tersebut. Objek sengketa ini biasanya berupa tanah, sehingga yang dicocokkan berupa lokasi, luas, dan batas-batas terhadap tanah tersebut termasuk kondisi segala sesuatu yang berada, tertanam, dan/atau tertimbun di atasnya. Pencocokkan ini dilakukan oleh juru sita pengadilan berdasarkan perintah hakim, panitera, maupun ketua pengadilan. Kewenangan ini dapat dialihkan kepada juru ukur pada Badan Pertanahan Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74A Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2021 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Definisi dan Arti Kata Kuasa Insidentil adalah perjanjian pemberian kuasa yang terjadi dalam suatu hubungan kekerabatan. Jenis kuasa ini muncul dalam praktik peradilan dalam perkara perdata manakala para pihak bersengketa memberikan kuasa kepada kerabatnya yang dipandang lebih mampu untuk melaksanakan hukum acara. Sebagai jenis perjanjian yang timbul berdasarkan perjanjian kuasa, maka pada hakikatnya akibat hukum dalam kuasa insidentil ialah sama dengan pemberian kuasa lainnya. Praktik peradilan membuat kuasa insidentil perlu disetujui oleh Ketua Pengadilan setelah sebelumnya menelaah hubungan kekeluargaan pemberi dan penerima kuasa berdasarkan Surat Keterangan Kepala Desa setempat. Dalam pengertian tekstual, istilah ini diartikan sebagai kuasa mendadak.

Definisi dan arti kata Pencurian adalah mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum. Definisi tersebut dapat ditemukan dalam Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Untuk dapat disebut sebagai pencurian, setidaknya harus memenuhi ketiga unsur dalam pengertian tersebut.

Unsur yang pertama ialah harus ada perbuatan mengambil. Perilaku mengambil dalam yurisprudensi hukum pidana diartikan sebagai perbuatan untuk memindahkan yang dalam hal ini dilakukan terhadap barang. Terhadap perpindahan tersebut, cukuplah dipandang berpindah dari tempatnya semula. Sebagai contoh, sebuah handphone semula diletakkan di atas meja dalam suatu kamar. Kemudian seseorang memindahkan handphone tersebut ke tempat tidur. Terhadap perbuatan tersebut cukuplah dipandang sebagai perbuatan mengambil.

Unsur yang kedua ialah barang. Pengertian barang sendiri tidak disebutkan secara spesifik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Oleh sebab itu, pengertian barang harus ditafsirkan secara sistemik sebagaimana dikenal dalam hukum perdata. Barang yang dimaksud dalam ketentuan tersebut, secara konsisten seharusnya ditafsirkan sebagai benda bergerak berwujud. Konsistensi ini didapat dari pemahaman perbuatan mengambil haruslah merupakan perbuatan fisik yang memindahkan secara fisik pula. Oleh karena itu, tidak dimungkinkan adanya pencurian bidang tanah menurut ketentuan ini. Mungkin terjadi pencurian terhadap galian tanah dari bidang tersebut. Perlu dicermati, terhadap kebendaan bergerak tidak berwujud seperti hak cipta sejatinya tidak dapat dilakukan pencurian berdasarkan ketentuan ini. Dimungkinkan terhadapnya pencurian sertifikat hak cipta atau pencurian ciptaannya. Begitu pula terhadap pencurian surat berharga seperti cek, harus dipahami yang dicuri bukanlah uang melainkan surat cek tersebut yang bernilai uang.

Kebendaan bergerak tidak berwujud seperti hak cipta sejatinya tidak dapat dilakukan pencurian berdasarkan ketentuan dalam Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Perkembangan maksud barang dalam ketentuan ini untuk menyebut energi semisal listrik untuk menggeneralisir maksud dalam Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana termasuk pula dalam kaitan benda tidak berwujud, tidaklah cukup relevan lagi. Pertama terhadap pencurian listrik telah diatur dalam undang-undang lain secara spesifik. Kedua, berdasarkan ilmu pengetahuan listrik telah dapat dijabarkan sebagai pergerakan muatan atom yang mana atom sendiri merupakan materi fisik walaupun tidak kasat mata. Pendeketan ilmu pengetahuan saintifik tersebut perlu didorong dalam hal mana terjadi perkembangan baru semisal pencurian cahaya (pendekatan dualisme partikel cahaya), pencurian nuklir (pendekatan reaksi fusi maupun fisi), dan sebagainya.

Menggeneralisir maksud dalam Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana termasuk pula dalam kaitan benda tidak berwujud, tidaklah cukup relevan lagi

Unsur terakhir ialah dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum. Setiap kata dengan maksud yang ditemui dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia perlu dipahami dalam bingkai doktrin teoritis mengenai kesengajaan. Dalam ketentuan tersebut, pencurian tidak mungkin dilakukan secara tidak sengaja. Sebagai contoh salah ambil handphone karena mirip dengan miliknya, secara umum tidak dapat dipandang sebagai kesengajaan. Masih berdasarkan ketentuan ini pula, kesengajaan itu harus berwujud maksud untuk memiliki secara melawan hukum. Keinsyafan pihak yang mengambil barang dalam hal ini harus memahami bahwa barang yang diambil ialah bukan miliknya, sedangkan peralihan hak milik tersebut dilakukan dengan tidak memenuhi kaidah-kaidah hukum terkait peralihan hak kepemilikan.

Kesengajaan itu harus berwujud maksud untuk memiliki secara melawan hukum

Masih dalam koridor ketentuan yang sama. Terdapat unsur barang siapa yang merujuk pada pelaku perbuatan. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana hanya mengakui pelaku perbuatan ialah orang alamiah yakni manusia. Sehingga, tidak dimungkinkan adanya pencurian yang dilakukan oleh Perseroan Terbatas, Yayasan, ataupun Koperasi. Namun dimungkinkan jika pencurian dilakukan oleh Direktur Perseroan Terbatas, Ketua Yayasan, ataupun Anggota Koperasi, dan sebagainya.

Definisi dan arti kata Aanmaning adalah suatu peringatan dari pengadilan kepada pihak berperkara. Pada umumnya, peringatan ini diberikan kepada pihak yang kalah dalam persidangan, agar melaksanakan putusan pengadilan dalam perkara perdata yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, secara sukarela atau kemauan sendiri dalam tempo paling lama 8 (delapan) hari. Aanmaning sendiri termasuk dalam jenis somasi yang memiliki kekhususan hanya diterbitkan oleh pengadilan. Berbeda dari somasi pada umumnya yang merupakan peringatan kepada debitur agar memenuhi kewajibannya.
Merujuk pada ketentuan dalam Pasal 196 HIR/207 RBg, peringatan dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri, setelah adanya permohonan eksekusi dari pihak penggugat, supaya putusan yang mempunyai hukum tetap tersebut dilaksanakan secara paksa. Peringatan (teguran) dilakukan karena tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan dengan sukarela atau kemauan sendiri, terhadap putusan yang sudah dijatuhkan kepadanya. Aanmaning sendiri dilakukan dengan cara pemanggilan terhadap pihak yang kalah dengan menentukan hari, tanggal dan jam persidangan dalam surat panggilan tersebut. Pemberian peringatan tersebut dilakukan dengan cara :

  • Melakukan sidang insidental yang dihadiri oleh Ketua Pengadilan, Panitera dan pihak yang kalah;
  • Memberikan peringatan atau teguran supaya pihak yang kalah tersebut menjalankan putusan Hakim dalam waktu 8 (delapan) hari;
  • Membuat berita acara aanmaning dengan mencatat semua peristiwa yang terjadi di dalam sidang tersebut sebagai bukti otentik bahwa aanmaning telah dilakukan dan berita acara ini merupakan landasan ntuk dilakukannya eksekusi yang akan dilaksanakan selanjutnya.
  • Apabila pihak yang kalah tersebut tidak hadir dalam sidang aanmaning, dan ketidakhadirannya dapat dipertanggungjawabkan, maka ketidakhadirannya dapat dibenarkan dan pihak yang kalah harus dipanggil kembali untuk aanmaning yang kedua kalinya.
  • Jika pihak yang kalah tidak hadir setalah dilakukan pemanggilan secara resmi dan patut tidap dapat dipertanggungjawabkan, maka haknya untuk dipanggil lagi menjadi gugur, tidak perlu lagi proses sidang peringatan dan tidak ada tenggang masa peringatan.

Merujuk pada ketentuan dalam Pasal 196 HIR/207 RBg, peringatan dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri, setelah adanya permohonan eksekusi dari pihak penggugat, supaya putusan yang mempunyai hukum tetap tersebut dilaksanakan secara paksa.

Meskipun secara umum Aanmaning dipahami dengan definisi demikian,  Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1967 tentang Penyelesaian Perkara-Perkara Perdata Dalam Tingkat Pertama Tingkat Banding Yang Kurang Biaya Perkaranya memberikan definisi yang lebih luas. Surat edaran tersebut menginstruksikan kepada Panitera Pengadilan Negeri untuk memberi peringatan kepada penggugat untuk memenuhi biaya perkara (uang muka) dalam jangka waktu satu bulan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Aanmaning dalam arti luas cukup didefinisikan sebagai surat peringatan resmi yang diterbitkan oleh Pengadilan untuk salah satu dan/atau para pihak berperkara di pengadilan.

Definisi dan arti kata Sita Revindicatoir adalah

  • Penyitaan yang diminta oleh pemilik barang bergerak yang barangnya ada di tangan orang lain, diajukan kepada ketua pengadilan negeri di tempat orang yang memegang barang tersebut tinggal
  • Definisi dan arti kata Surat Gugatan adalah

  • Surat permohonan (surat rekes) yang ditujukan kepada ketua pengadilan negeri yang berwenang.
  • Definisi dan arti kata Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan. Definisi ini dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 16 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Penyitaan sering dikorelasikan sebagai tindakan untuk memperoleh barang bukti. Oleh karena itu, definisi ini dijadikan dasar untuk memahami barang bukti dalam konteks meluas yang meliputi benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud. Berdasarkan definisi ini, tindakan penyitaan menyebabkan pemilik atau penguasa benda menjadi kehilangan haknya atas dasar sita tersebut yang terjadi terhitung semenjak dibuatnya berita acara penyitaan. Rasio legis ini yang menyebabkan perlunya penetapan status sita setelah barang bukti menyelesaikan tujuan disitanya.

    Penyitaan dalam konteks pidana hanya dapat dilakukan oleh Penyidik dalam batas kewenangannya. Untuk menjaga batas kewenangan tersebut, serta melindungi hak pemilik atas barang yang disita, maka kewenangan ini hanya dapat dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan Ketua Pengadilan Negeri setempat. Walaupun dalam keadaan mendesak, penyitaan dapat dilakukan terlebih dahulu yang selanjutnya dapat dimintakan persetujuan oleh Ketua Pengadilan Negeri Setempat, namun terhadap penyitaan surat atau tulisan lain dari mereka yang berkewajiban menurut undang-undang untuk merahasiakannya secara umum tidak dapat dilaksanakan.

    Penyitaan dapat dilakukan terhadap:

    1. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
    2. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
    3. Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;
    4. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
    5. Benda lain yang mempunyai hubungan lansung dengan tindak pidana yang dilakukan.

    Benda-benda tersebut dapat tetap disita meskipun dalam status sita keperdataan. Pengecualian terhadap surat maupun tulisan lain atau kiriman paket hanya dapat disita jika hal tersebut berasal dari tersangka atau terdakwa atau ditujukan kepadanya atau kepunyaannya atau diperuntukkan baginya atau jikalau benda tersebut merupakan alat untuk melakukan tindak pidana. Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut, kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau, jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain.

    Definisi dan arti kata Eksekusi adalah pelaksanaan terhadap suatu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Istilah tersebut bukan merupakan istilah resmi namun merupakan pengertian yang didapat dalam praktik. Kata Eksekusi muncul dalam praktik hukum pidana maupun perdata. Dalam perkara pidana, yang melaksanakan eksekusi ialah Jaksa. Sedangkan dalam perkara perdata, pelaksanaan eksekusi dilakukan oleh Panitera Pengadilan Negeri/Agama berdasarkan perintah dari Ketua Pengadilan Negeri/Agama. Eksekusi merupakan puncak dari proses peradilan. Hal ini mengingat karena upaya paksa untuk menegakkan keadilan berdasarkan kebenaran yang diperoleh dalam proses persidangan berada pada tahap eksekusi. Oleh karena itu, terlaksananya eksekusi merupakan cerminan dari keberhasilan proses peradilan yang telah berjalan.