Definisi dan Arti Kata Ius Corrigendi adalah frasa Latin yang secara harfiah berarti “hak untuk memperbaiki.” Istilah ini digunakan dalam konteks hukum untuk merujuk pada hak atau kewenangan yang dimiliki oleh pengadilan atau otoritas hukum untuk mengoreksi atau memperbaiki kesalahan yang terjadi dalam proses hukum atau keputusan yang telah dibuat. Penggunaan kewenangan ini sekaligus menyatakan kesalahan badan peradilan dalam menerbitkan putusan. Ruang lingkup kesalahan dalam bahasan ini terbatas pada kesalahan yang pada dasarnya tidak dimaksud dalam putusan tersebut semisal kesalahan dalam pengetikan.

Dalam praktiknya, “ius corrigendi” dapat mencakup berbagai tindakan atau keputusan yang diambil oleh pengadilan atau otoritas hukum untuk memperbaiki kesalahan administratif, kesalahan interpretasi hukum, atau kesalahan fakta yang mungkin terjadi dalam proses pengadilan. Misalnya, pengadilan dapat mengeluarkan perintah pengubahan atau klarifikasi terhadap putusan sebelumnya, atau membatalkan atau mengoreksi putusan yang dikeluarkan karena kesalahan.

Walaupun dianggap sebagai suatu hak, “ius corrigendi” harus digunakan dengan hati-hati dan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku, termasuk prinsip keadilan, kepastian hukum, dan perlindungan hak-hak individu. Hal ini mengingat perbaikan putusan dalam bentuk apapun dapat menimbulkan spekulasi atas putusan yang telah diterbitkan. Dalam beberapa yurisdiksi, ada prosedur dan persyaratan khusus yang harus dipatuhi sebelum “ius corrigendi” dapat diterapkan, untuk memastikan bahwa tindakan tersebut diambil dengan kebijaksanaan dan keadilan yang tepat.

Di Indonesia, prinsip dari Ius Corrigendi dapat ditemukan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014 yang pada prinsipnya hanya berlaku terhadap putusan yang salinannya belum diterima oleh para pihak bersengketa.

Definisi dan Arti Kata Misbruik Van Omstandigheden adalah istilah dalam Bahasa Belanda yang berarti “penyalahgunaan keadaan” dalam bahasa Indonesia. Istilah ini digunakan dalam konteks hukum untuk merujuk kepada tindakan atau praktek yang melibatkan penyalahgunaan situasi atau keadaan tertentu untuk mendapatkan keuntungan atau manfaat yang tidak adil atau tidak etis.

Dalam hukum, “misbruik van omstandigheden” seringkali dikaitkan dengan transaksi atau perjanjian antara pihak yang memiliki kekuatan tawar lebih besar atau pengetahuan yang lebih mendalam dibandingkan pihak lainnya. Ini bisa terjadi ketika seseorang memanfaatkan ketidaktahuan, ketergantungan, atau ketidakmampuan pihak lain untuk mendapatkan persetujuan atau kesepakatan yang menguntungkan bagi mereka sendiri.

Konsep ini sering terkait dengan perlindungan konsumen dan etika bisnis. Di banyak sistem hukum, tindakan yang dianggap sebagai “misbruik van omstandigheden” dapat dianggap tidak sah atau tidak berlaku, dan pihak yang menjadi korban penyalahgunaan keadaan dapat memiliki hak untuk membatalkan perjanjian atau transaksi tersebut. Meskipun seolah serupa, misbruik van omstandigheden harus dibedakan dari dwang, dwaling, maupun bedrog.

Definisi dan Arti Kata Quality Assurance adalah proses yang digunakan untuk memastikan bahwa suatu produk atau layanan memenuhi standar kualitas yang telah ditetapkan. Ini biasanya terdiri dari serangkaian tes dan inspeksi yang dilakukan pada suatu produk atau layanan selama proses pembuatannya untuk memastikan bahwa produk tersebut memenuhi persyaratan kualitas yang telah ditetapkan. Quality assurance juga dapat meliputi aktivitas seperti mengelola dan mengaudit dokumen kualitas, serta memantau proses produksi untuk memastikan bahwa produk yang dihasilkan memenuhi standar kualitas yang diinginkan.

Quality Assurance berbeda dengan Quality Control meskipun saling berkaitan. Quality Assurance berkaitan dengan serangkaian kegiatan untuk memastikan barang/jasa yang diproduksi sesuai dengan standar tertentu. Sedangkan Quality Control ialah memastikan produk yang telah dihasilkan mencapai standar tertentu. Dapat dikatakan Quality Control merupakan bagian dari kegiatan Quality Assurance.

Dalam hukum di Indonesia, Quality Assurance tidak diatur secara langsung melainkan pada aturan internal yang diberlakukan oleh produsen barang/jasa. Ketentuan mengenai Standar Nasional Indonesia maupun hukum perlindungan konsumen merupakan alasan hukum yang berkaitan dengan diterapkannya Quality Assurance selain alasan bisnis produsen untuk mempertahankan barang/jasanya di pasar.

Definisi dan Arti Kata Tindakan Kebiri Kimia adalah pemberian zat kimia melalui penyuntikan atau metode lain, yang dilakukan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, sehingga menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, untuk menekan hasrat seksual berlebih, yang disertai rehabilitasi. Istilah ini pertama kali digunakan dalam Pasal 81 ayat (7) Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang dan pengertiannya dapat ditemukan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2020 tentang Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak.

Sebagai suatu tindakan, secara normatif kebiri kimia bukan termasuk dalam jenis pemidanaan. Model penjatuhan sanksi tersebut seolah-olah menimbulkan rezim baru dalam dunia hukum pidana. Dikarenakan bukan termasuk jenis pemidanaan, maka penjatuhannya juga memiliki perspektif yang lebih khusus dibandingkan dengan penjatuhan jenis-jenis hukuman pidana. Sebagai contoh, dalam penjatuhan pidana mati dalam kajian hukum tidak dapat dijatuhkan bersamaan dengan jenis pidana lainnya kecuali pengumuman putusan hakim atau pencabutan hak-hak tertentu. Namun dengan adanya rezim tindakan ini, maka dimungkinkan untuk dijatuhkan bersamaan dengan pidana mati tersebut. Secara moril pidana mati merupakan pidana terberat yang pembebanannya seolah menghilangkan seluruh harapan dari terpidana sehingga sudah tidak diperlukan menjatuhkan jenis pidana lainnya. Dengan adanya kemungkinan penjatuhan pidana mati bersamaan dengan tindakan tersebut, akan memberi kajian moril baru dalam hukum pidana di Indonesia.

Definisi dan Arti Kata Anak Angkat adalah Anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan Keluarga Orang Tua, Wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan Anak tersebut ke dalam lingkungan Keluarga Orang Tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan. Definisi tersebut dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Berdasarkan aturan tersebut, anak angkat baru diakui statusnya hanya apabila mendapatkan putusan atau penetapan pengadilan. Namun dalam aturan yang sama disebutkan pula bahwa pengangkatan anak dapat pula dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat yang dapat pula diajukan penetapan pengangkatan anaknya. Melihat disharmonisnya norma tersebut, penafsiran lembaga peradilan terhadap status anak angkat berdasarkan adat kebiasaan masih sangat diperlukan.

Anak angkat baru diakui statusnya hanya apabila mendapatkan putusan atau penetapan pengadilan.

Anak angkat memiliki hak untuk diperlakukan yang sama selayaknya anak kandung dari sisi pemeliharaan yang menjadi tujuan utama pengangkatan anak. Status anak angkat merupakan akibat hukum dari perbuatan pengangkatan anak. Oleh sebab itu, status ini merupakan perbuatan searah yakni dari orang tua angkat kepada anak angkatnya. Kaidah tersebut menjadikan anak angkat hanya dapat diangkat oleh seseorang dan bukan klaim untuk mengangkat dirinya sendiri sebagai anak angkat dari seseorang. Masih terkait tujuan utama pengangkatan anak yakni pemeliharaan, maka pengangkatan anak setelah anak menjadi dewasa adalah hal yang bertentangan dengan maksud tersebut.

Anak angkat hanya dapat diangkat oleh seseorang dan bukan klaim untuk mengangkat dirinya sendiri sebagai anak angkat dari seseorang.

Anak angkat tidak serta merta menjadikannya ahli waris dengan kedudukan sederajat dengan anak kandung. Berdasarkan hukum positif yang berlaku di Indonesia, anak angkat tidak mendapatkan bagian waris. Namun demikian, praktik peradilan sering mengakomodir bagian waris terhadap anak angkat dengan berbagai alasan. Selain itu, dikarenakan hukum waris di Indonesia belum mengenal unifikasi hukum, maka masih dimungkinkan anak angkat untuk mendapatkan bagian waris berdasarkan hukum lain di luar hukum positif seperti hukum adat.

Definisi dan Arti Kata Pengangkatan Anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawabatas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkat. Definisi tersebut dapat ditemukan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak. Berdasarkan aturan tersebut pengangkatan anak dapat dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat maupun dengan penetapan pengadilan. Pengangkatan anak bertujuan untuk kepentingan terbaik bagi anak dalam rangka mewujudkan kesejahteraan anak dan perlindungan anak, yang dilaksanakan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Namun demikian, pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orangtua kandungnya. Penegasan kaidah hubungan darah dalam pengangkatan anak tersebut condong kepada kaidah pengangkatan anak dalam Hukum Islam.

Pengangkatan anak bertujuan untuk kepentingan terbaik bagi anak dalam rangka mewujudkan kesejahteraan anak dan perlindungan anak.

Sejarah pengangkatan anak di Indonesia muncul dalam masa Pemerintahan Kolonial Belanda melalui Staatblad Nomor 129 Tahun 1917 guna mengakomodir praktik pengangkatan anak bagi Keturunan Cina di masa lalu. Dalam praktik tersebut, anak yang diangkat tersebut akan dialihkan hubungan kekeluargaannya dari keluarga yang lama menjadi keluarga yang baru dengan tujuan memperoleh keturunan anak laki-laki. Dengan demikian, anak tidak lagi dimaksudkan untuk memiliki hubungan keluarga dari orang tua aslinya. Berdasarkan kaidah tersebut, anak angkat selanjutnya diberikan hak waris yang sederajat dengan anak kandung lainnya. Hal inilah yang kemudian dikembangkan dalam praktik peradilan sebagai dasar pemberian hak waris kepada anak angkat. Praktik tersebut telah memperlebar pemberlakuan hukum yang terbatas pada Keturunan Cina semata menjadi kepada semua orang yang dasar kaidah pengangkatan anaknya berbeda dengan praktik yang dilakukan oleh Keturunan Cina saat itu.

Dalam praktik Keturunan Cina di masa lalu, anak yang diangkat tersebut akan dialihkan hubungan kekeluargaannya dari keluarga yang lama menjadi keluarga yang baru.

Melihat adanya pertentangan mendasar terhadap pengangkatan anak dalam Staatblad Nomor 129 Tahun 1917 dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, maka berdasarkan Pasal 43 Peraturan Pemerintah tersebut seharusnya Staatblad Nomor 129 Tahun 1917 tidak dapat dipertahankan sebagai dasar dalam pengangkatan anak, termasuk sebagai dasar dalam pemberian hak waris terhadap anak. Oleh sebab itu, hak waris terhadap anak angkat tidak lagi diakomodir dalam hukum positif di Indonesia. Walaupun demikian, mengingat hukum waris di Indonesia belum dilakukan unifikasi hukum, maka terhadap hak waris terhadap anak angkat masih mungkin diberikan dalam koridor hukum adat. Dalam praktik peradilan sering ditemukan anggapan bahwa, pengangkatan anak untuk mendapatkan waris diajukan ke Pengadilan Negeri, sedangkan apabila hanya untuk meneguhkan status anak angkat, maka diajukan ke Pengadilan Agama. Anggapan tersebut perlu ditelaah kembali mengenai kaidah mana yang digunakan untuk mendasarinya, terutama setelah kaidah yang digariskan dalam Staatblad Nomor 129 Tahun 1917 sudah sangat jauh berbeda baik dari struktur masyarakat maupun hukum positif yang berlaku saat ini. Terlebih, tujuan utama pengangkatan anak bukan terhadap urusan waris melainkan kepentingan pemeliharaan bagi anak.

Definisi dan arti kata minderjarig adalah anak di bawah umur. Istilah ini berasal dari Bahasa Belanda. Berdasarkan istilahnya, minderjarig mengacu pada kelompok minor yang maksudnya membutuhkan bantuan kelompok major. Minderjarig merupakan kebalikan dari meerdarjarigKetentuan mengenai minderjarig biasa dilekatkan pada Pasal 330 Burgelijk Wetboek tentang kebelumdewasaan. Berdasarkan ketentuan tersebut, setiap orang yang belum dewasa ialah orang yang belum genap berumur 21 tahun atau belum pernah menikah. Kedewasaan yang terjadi akibat perkawinan tersebut tidak akan berubah menjadi tidak dewasa apabila perkawinan itu putus sebelum yang bersangkutan berumur genap 21 tahun. Sekalipun kebelumdewasaan sering dikaitkan dengan ketidakcakapan, sesungguhnya kedua istilah tersebut ialah berbeda. Kebelumdewasaan ialah kondisi seorang manusia yang menurut hukum belum mencapai usia dewasa. Sedangkan kecakapan sehubungan penilaian hukum apakah seseorang dapat dianggap melakukan perbutan hukum atau tidak. Secara teoritis dapat berlaku kondisi belum dewasa namun sudah cakap.

Kebelumdewasaan dan ketidakcakapan ialah istilah yang berbeda.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menegaskan bahwa pengertian dari Anak ialah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Jika definisi Anak dan Kebelumdewasaan diperpotongkan, maka akan didapatkan kesimpulan bahwa semua Anak ialah belum dewasa namun dalam rentang usia 18-21 (delapan belas hingga dua puluh satu) tahun, ia bukan lagi Anak walaupun masih belum dewasa.

Definisi dan arti kata Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. Istilah tersebut dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja. Dalam hukum bisnis, Direksi sering disebut sebagai Board of Director. Sekalipun sebagai wakil perseroan, Direksi bukanlah pihak yang tepat untuk dipandang sebagai perseroan itu sendiri. Sehingga dalam membuat perjanjian, korespondensi, maupun mengajukan gugatan, seharusnya Direksi tidak disebutkan untuk dimaksudkan sebagai perseroan terbatas itu sendiri melainkan cukup sebagai wakil dari perseroan. Selain itu, Direksi juga tidak dapat dianggap pemilik dari perseroan meskipun jalannya perseroan sangat bergantung pada keputusan bisnis dari Direksi. Anggota dari Direksi biasa disebut Direktur. Kewenangan setiap Direktur dapat dibatasi melalui Anggaran Dasar/Akta Pendirian/Rapat Umum Pemegang Saham. Apabila kewenangan Direktur didapatkan melalui pelimpahan kewenangan dari Direktur lainnya dalam bentuk surat keputusan, surat kuasa, maupun bentuk dokumen lainnya, maka pertanggungjawabannya bergantung pada mekanisme pelimpahan kewenangan yang diberikan.

Direksi dalam menjalankan perseroan diberikan kepercayaan penuh oleh pemegang saham untuk mengelola modal yang telah disetorkan ke dalam perseroan. Oleh sebab itu, Direksi terikat dengan doktrin fiduciary duty dan bussiness judgement rule yang pada akhirnya diharapkan sampai pada titik tata kelola perusahaan yang baik. Kewenangan Direksi yang begitu besar dalam mengelola modal tadi menyebabkan direksi dimungkinkan untuk berlaku curang. Oleh sebab itu, dimungkinkan baginya untuk bertanggung jawab atas kesalahannya dengan menangung kewajiban perseroan terbatas secara pribadi. Hal ini disebut sebagai doktrin piercing the corporate veil.

Direksi terikat dengan doktrin fiduciary duty dan bussiness judgement rule yang pada akhirnya diharapkan sampai pada titik tata kelola perusahaan yang baik

Direktur diangkat dan diberhentikan melalui akta pendirian perseroan terbatas atau melalui Rapat Umum Pemegang Saham. Direktur yang diangkat tidak melalui Akta Pendirian/Rapat Umum Pemegang Saham, bukan merupakan bagian dari Organ Perseroan Terbatas melainkan dianggap sebagai tenaga kerja perseroan terbatas tersebut. Oleh sebab itu, terhadapnya tidak berlaku ketentuan mengenai perseroan terbatas melainkan berlaku ketentuan mengenai ketenagakerjaan. Direktur dapat pula merangkap jabatan sebagai pemegang saham.

Direktur yang diangkat tidak melalui Akta Pendirian/Rapat Umum Pemegang Saham, bukan merupakan bagian dari Organ Perseroan Terbatas melainkan dianggap sebagai tenaga kerja perseroan terbatas tersebut

Syarat untuk dapat menjadi Direktur Perseroan Terbatas adalah dalam 5(lima) tahun terakhir sebelum diangkat tidak pernah termasuk dalam hal-hal sebagai berikut :

  1. dinyatakan pailit;
  2. menjadi anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris yang dinyatakan bersalah
    menyebabkan suatu Perseroan dinyatakan pailit; atau
  3. dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara dan/atau
    yang berkaitan dengan sektor keuangan.

Syarat itu merupakan syarat umum dan dapat ditambah sesuai dengan kebutuhan perseroan/peraturan teknis lainnya. Sedangkan untuk gaji Direktur, wajib ditetapkan melalui Rapat Umum Pemegang Saham.

Dalam hal tertentu, Direktur dapat diberhentikan sementara oleh Dewan Komisaris. Kewenangan Direktur yang diberhentikan sementara itu, akan dilaksanakan oleh siapa di dalam Anggaran Dasar/Akta Pendirian telah menyebutkannya. Biasanya kewenangan ini akan diambil oleh Anggota Direksi lainnya. Bilamana Akta Pendirian/Anggaran Dasar tidak menyebutkan peralihan kewenangan sementara itu, maka harus diadakan Rapat Umum Pemegang Saham untuk memberikan kewenangan tersebut. Secara hukum, Direktur hanya boleh diangkat untuk jangka waktu tertentu dan untuk selanjutnya dapat diangkat kembali melalui Rapat Umum Pemegang Saham. Dalam praktik, biasanya Akta Pendirian mencantumkan klausul masa jabatan Direksi selama 5(lima) tahun. Praktik di lapangan, sering ditemukan banyak Direktur yang belum diangkat kembali setelah jangka waktu tersebut. Dalam hal ini, Direktur yang bersangkutan secara hukum harus dianggap tidak berwenang untuk mewakili perseroan. Pihak ketiga beriktikad baik yang sudah melakukan perikatan dengan Direktur tersebut seharusnya dilindungi oleh hukum dengan tetap mempertahankan perikatannya. Sedangkan dari sisi perseroan, perbuatan Direktur tidak wenang tersebut dapat diserap melalui Rapat Umum Pemegang Saham maupun Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak oleh Direksi yang masih berwenang.

Praktik di lapangan, sering ditemukan banyak Direktur yang belum diangkat kembali setelah jangka waktu tersebut. Dalam hal ini, Direktur yang bersangkutan secara hukum harus dianggap tidak berwenang untuk mewakili perseroan

Dikarenakan Direksi dipilih melalui mekanisme Rapat Umum Pemegang Saham, maka secara praktis Direksi merupakan orang pilihan dari Pemegang Saham mayoritas. Oleh sebab itu, dimungkinkan bagi Direksi untuk melakukan tindakan yang menguntungkan Pemegang Saham mayoritas namun merugikan Pemegang Saham minoritas. Sebagai contoh, Direksi menjual aset perseroan secara langsung kepada Pemegang Saham Mayoritas dengan harga di bawah harga pasar. Dalam kejadian tersebut, Pemegang Saham minoritas akan mengalami kerugian berupa pengurangan nilai aset perseroan yang menyebabkan secara akuntansi harga saham yang dimiliki oleh pemegang saham minoritas ikut menurun. Hukum Perseroan Terbatas oleh sebab itu memberikan perlindungan dengan memberikan hak pemegang saham minoritas untuk mengajukan gugatan derivatif, yakni gugatan perseroan yang diwakili oleh pemegang saham minoritas terhadap direksi beriktikad buruk.

Direksi maupun Direktur pada praktiknya sering digunakan untuk orang yang bertanggungjawab secara langsung dalam suatu organisasi maupun perusahaan selain perseroan terbatas. Dalam hal ini, ketentuan mengenai perseroan terbatas tentu tidak dapat diberlakukan terhadap Direksi maupun Direktur tersebut. Padanan kata dalam bisnis terhadap Direktur didapati Presiden Direktur, Chief Executive Officer, Chief Technology Officer, dan sebagainya. Perbedaan paling mencolok dari istilah-istilah tersebut ialah kewenangannya dalam mengurus perseroan. Dalam hukum Indonesia, kewenangan itu diatur dalam akta pendirian/anggaran dasar perseroan.

Definisi dan arti kata Fiat Justicia Ruat Coeloem adalah asas yang biasa diartikan dengan keadilan/hukum harus ditegakkan sekalipun langit runtuh. Frasa ini secara harfiah diterjemahkan dari Bahasa Latin sebagai “Biarkan keadilan terjadi, meskipun langit runtuh.” Frasa ini menggambarkan komitmen untuk menjalankan keadilan tanpa memperhitungkan konsekuensi eksternal yang mungkin terjadi. Ini menekankan pentingnya penegakan hukum dan keadilan dalam semua situasi, bahkan di tengah-tengah kekacauan atau keadaan sulit.

Istilah ini juga menggambarkan prinsip bahwa keadilan dan penegakan hukum harus diprioritaskan, bahkan dalam situasi yang paling sulit atau genting sekalipun. Ini adalah ungkapan yang menekankan pentingnya menjaga kepatuhan terhadap hukum dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan, bahkan di tengah kondisi yang penuh tekanan atau krisis. Ide ini menggarisbawahi pentingnya penegakan hukum sebagai landasan bagi masyarakat yang berfungsi dengan baik dan beradab. Meskipun tantangan dan kesulitan dapat muncul, prinsip-prinsip hukum harus tetap dijunjung tinggi untuk menjaga ketertiban, keadilan, dan perlindungan hak asasi manusia.

Frasa ini sering kali digunakan untuk menekankan pentingnya independensi sistem peradilan dan kepatuhan terhadap hukum, bahkan ketika kondisi atau situasi eksternal mengancam atau menantang. Ini mencerminkan keyakinan bahwa hukum harus menjadi landasan yang kokoh, bahkan dalam menghadapi tekanan atau tantangan terbesar.

Definisi dan arti kata Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. Definisi barang tersebut sesuai dengan definisi yang tercantum dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Istilah ini walaupun sudah diakui dalam tataran peraturan perundang-undangan sedikit tidak sejalan dengan doktrin Hukum Benda.