Definisi dan Arti Kata Ermessen adalah istilah dalam bahasa Jerman yang dapat diterjemahkan sebagai “discretion” dalam bahasa Inggris. Istilah ini merujuk kepada kebijaksanaan atau kebebasan yang dimiliki oleh otoritas atau pejabat untuk membuat keputusan atau tindakan tertentu sesuai dengan kebijakan atau hukum yang berlaku. Dalam konteks hukum dan administrasi publik, ermessenisah salah satu prinsip penting yang memungkinkan pejabat untuk menggunakan penilaian dan kebijaksanaan mereka dalam menerapkan hukum atau peraturan dalam situasi tertentu. Hal ini sering digunakan dalam hukum administrasi untuk menggambarkan wewenang otoritas atau pejabat untuk membuat keputusan berdasarkan pertimbangan mereka sendiri, terutama ketika peraturan atau undang-undang tidak memiliki pedoman yang sangat spesifik untuk situasi yang dihadapi.

Definisi dan Arti Kata Diyat adalah kompensasi atau denda pengganti dalam Bahasa Arab. Diyat merupakan suatu konsep dalam hukum Islam yang merujuk kepada pembayaran kompensasi atau denda yang harus dibayarkan oleh seseorang sebagai pengganti atau kompensasi untuk cedera atau kematian yang disebabkan oleh tindakan atau kelalaian mereka. Konsep ini terkait dengan hukum pidana Islam, terutama dalam konteks hukum jinayah (hukum pidana) dan hukum qisas (hukum pembalasan).

Dalam hukum jinayah Islam, diyat dapat digunakan sebagai alternatif terhadap hukuman fisik seperti hukuman cambuk atau hukuman mati dalam kasus pembunuhan atau cedera fisik. Jadi, seseorang yang terbukti bersalah melakukan tindakan tersebut dapat diminta untuk membayar diyat kepada korban atau keluarganya sebagai kompensasi.

Diyat berbeda-beda tergantung pada tingkat cedera atau kerusakan yang disebabkan dan dapat disesuaikan sesuai dengan situasi tertentu. Prinsip di balik diyat adalah untuk memberikan pengganti yang adil kepada korban atau keluarganya, sambil memberikan peluang bagi pelaku untuk mendamaikan diri dengan korban atau keluarganya.

Definisi dan Arti Kata Regulasi Turunan adalah regulasi yang dibuat berdasarkan perintah regulasi yang lebih tinggi derajatnya atau dibuat dengan didasarkan pada regulasi yang lebih tinggi derajatnya. Istilah ini dapat dipersamakan dengan peraturan organis dalam perspektif umum. Konsep Regulasi Turunan muncul ketika sistem pemerintahan dalam suatu negara telah menerapkan kewenangan berjenjang dalam membuat suatu regulasi. Pada prinsipnya dalam negara bersistem pembagian kekuasaan, kewenangan untuk membuat regulasi ada pada lembaga legislatif. Lembaga ini biasanya hanya memberikan garis besar aturan yang perlu dilakukan, sedangkan pelaksanaan di lapangan belum diatur sedemikian rupa. Oleh karena itu, pelaksana di lapangan dalam negara hukum diberikan kewenangan untuk membuat Regulasi Turunan guna memperjelas proses tata laksananya. Di Indonesia, Regulasi Turunan dimungkinkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan beserta perubahan-perubahannya. Hal tersebut dapat dilihat dengan contoh pada Peraturan Pemerintah yang merupakan turunan dari Undang-Undang tertentu.

Pada praktiknya, terdapat Regulasi Turunan yang sebagian besar menyadur regulasi di atasnya. Hal ini dilakukan untuk mempermudah pemahaman konsep dalam membaca Regulasi Turunan walaupun dari segi efisiensi, pembentukan peraturan perundang-undangan yang demikian perlu dikaji ulang. Selain itu, terdapat pula Regulasi Turunan yang dibuat melebar dari lingkup regulasi di atasnya. Sebagai contoh, dalam suatu Undang-Undang untuk melakukan perbuatan tertentu diperlukan syarat a, b, dan c. Namun dalam Regulasi Turunan perbuatan itu dipersyaratkan a, b, c, dan d. Praktik ini perlu dinilai secara kasuistis bergantung pada hakikat norma yang dimaksud dalam regulasi yang mendasarinya.

Definisi dan Arti Kata Hukum Humaniter adalah hukum yang dibuat untuk melindungi hak asasi manusia dan menjamin keadilan bagi semua orang, terlepas dari latar belakang, agama, atau kewarganegaraan. Hukum humaniter biasanya diterapkan dalam situasi perang atau konflik, di mana kemanusiaan sering terancam. Hukum humaniter terdiri dari berbagai peraturan yang mengatur cara-cara memperlakukan tentara dan civitas (warga sipil) yang terlibat dalam konflik, serta cara-cara yang harus dilakukan untuk menjamin keselamatan dan kesejahteraan warga sipil yang terkena dampak dari konflik tersebut. Contoh utama dari hukum humaniter adalah Konvensi Jenewa, yang merupakan seperangkat peraturan internasional yang mengatur tindakan-tindakan yang harus dilakukan dan yang harus dihindari dalam situasi perang.

Indonesia merupakan salah satu negara yang telah menandatangani Konvensi Jenewa dan mengikuti prinsip-prinsip hukum humaniter yang tercantum di dalamnya. Selain itu, Indonesia juga telah menetapkan berbagai peraturan hukum yang mengatur tentang perlindungan hak asasi manusia, terutama dalam situasi perang atau konflik. Salah satu contohnya adalah UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, yang mengatur tentang hak asasi manusia dan mekanisme penegakan hak-hak tersebut di Indonesia. Selain itu, Indonesia juga telah menandatangani berbagai perjanjian internasional lain yang mengatur tentang hak asasi manusia, seperti Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) dan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (CERD).

Definisi dan Arti Kata Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang menempatkan kekuasaan pada rakyat melalui mekanisme pemilihan umum. Kata “demokrasi” berasal dari bahasa Yunani “demokratia,” yang terdiri dari kata “demos” yang berarti “rakyat” dan “kratos” yang berarti “kekuasaan.” Artinya, demokrasi adalah sistem di mana kekuasaan dipegang oleh rakyat. Dalam demokrasi, warga negara memiliki hak untuk memilih pemimpin mereka dan untuk menentukan bagaimana negara tersebut diatur. Pemilihan umum merupakan cara utama bagi rakyat untuk memilih pemimpin mereka dan untuk mengendalikan kebijakan publik. Demokrasi juga menghargai hak asasi manusia, hak untuk mendapat perlakuan yang adil, dan hak untuk hidup sejahtera.

Dalam hukum, demokrasi dianggap sebagai sistem hukum yang memberikan kekuasaan kepada rakyat melalui mekanisme pemilihan umum. Dalam sistem hukum demokrasi, rakyat memiliki hak untuk memilih pemimpin mereka, menentukan bagaimana negara tersebut diatur, dan memengaruhi kebijakan publik melalui proses pemilihan umum. Hukum dianggap sebagai alat untuk menjamin keadilan bagi semua warga negara. Oleh karena itu, sistem hukum demokrasi harus memberikan perlakuan yang adil bagi semua warga negara tanpa terkecuali. Selain itu, sistem hukum demokrasi juga harus mampu menjamin hak asasi manusia serta memberikan kepastian hukum bagi semua warga negara.

Di Indonesia, demokrasi disebut dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, yang merupakan konstitusi negara Indonesia. Bunyi ketentuan tersebut ialah “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar.” Kedaulatan rakyat ini merupakan salah satu prinsip dasar demokrasi yang menempatkan kekuasaan pada rakyat melalui mekanisme pemilihan umum. Selain itu, makna demokrasi secara tidak langsung tercantum dalam beberapa pasal lain dalam Undang-Undang Dasar 1945, di antaranya Pasal 27 ayat (1), yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berekspresi, dan Pasal 28D ayat (1), yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat. Prinsip-prinsip tersebut merupakan dasar hukum demokrasi di Indonesia yang menjamin hak asasi manusia serta memberikan kepastian hukum bagi semua warga negara.

Definisi dan Arti Kata Gugatan Intervensi adalah gugatan yang diajukan oleh pihak ketiga untuk mengintervensi jalannya persidangan. Intervensi ini dilakukan karena dalam persidangan tersebut terdapat hak pihak ketiga yang sedang diadili, padahal pihak ketiga tersebut tidak diikutsertakan dalam proses peradilan. Intervensi yang dilakukan pihak ketiga ini ialah sah sepanjang dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku. Berdasarkan makna katanya, Gugatan Intervensi hanya mencakup istilah voeging maupun tussenkomst yang pada pokoknya merupakan intervensi pihak ketiga atas inisiatifnya sendiri.

Materi pokok Gugatan Intervensi memuat fundamentum petendi terkait legal standingnya terhadap perkara, tuntutan penetapan statusnya sebagai pihak dalam perkara, serta tuntutan pokoknya terhadap perkara yang sedang berjalan. Berdasarkan pengajuan Gugatan Intervensi tersebut, Hakim akan menjatuhkan putusan sela terlebih dahulu untuk menerima atau menolak kedudukan pihak ketiga yang melakukan intervensi. Jika menerima kedudukan pihak tersebut, maka Hakim, berdasarkan tuntutan pihak ketiga, akan menetapkan pihak ketiga tersebut sebagai Penggugat-Intervensi, Tergugat-Intervensi, atau sebagai Penggugat Intervensi yang menggugat seluruh pihak bersengkata dalam persidangan yang telah berjalan.

Berdasarkan pengajuan Gugatan Intervensi tersebut, Hakim akan menjatuhkan putusan sela terlebih dahulu untuk menerima atau menolak kedudukan pihak ketiga yang melakukan intervensi.

Dalam praktik, Gugatan Intervensi hanya akan diterima bilamana persidangan belum sampai tahap pembuktian. Keputusan tersebut diambil demi tertibnya hukum acara. Selain itu, pihak yang mengajukan intervensi pada prinsipnya masih memiliki kesempatan untuk mengajukan gugatan terpisah maupun perlawanan pihak ketiga di luar proses persidangan yang tengah berjalan. Masih berdasarkan praktik, Gugatan Intervensi jarang diajukan. Hal ini mengingat beban biaya perkara riil sudah berjalan, sedangkan status hukum belum ditetapkan akan merugikan pihak ketiga. Oleh sebab itu, model perlawanan pihak ketiga lebih sering diambil mengingat yang dilawan ialah status hukum yang telah pasti merugikan pihak ketiga tersebut.

Definisi dan Arti Kata Ultimum Remedium adalah upaya pemulihan terakhir dalam Bahasa Latin. Istilah ini sering digunakan dalam kajian hukum pidana untuk membentuk suatu perspektif bahwa pemidanaan merupakan upaya terakhir untuk memulihkan keadaan yang terjadi akibat perbuatan pelaku kejahatan. Untuk memahami istilah ini, perlu memahami konstruksi perbuatan jahat yang mana setiap kejahatan pada prinsipnya selalu menimbulkan korban. Korban inilah yang mengalami kerugian baik materiil maupun immateriil yang tidak dapat dikembalikan keadaannya seperti semula. Walaupun demikian, berdasarkan praktik di masyarakat, ternyata tidak semua korban serta merta mengharapkan penghukuman badan bagi Terdakwa. Terdapat variasi pemenuhan kepuasan yang dianggap adil oleh korban, seperti ganti kerugian, kompensasi perbuatan, atau cukup dengan pernyataan maaf dari pelaku perbuatan dan sebagainya. Padahal dalam penegakan hukum pidana ternyata sering tidak serta merta memulihkan keadaan korban. Berdasarkan hal tersebut, kemudian muncul perspektif untuk mengakhirkan pemidanaan sebagai upaya memulihkan keadaan. Bila terdapat upaya lain untuk memulihkan keadaan, maka upaya lain itulah yang harus digunakan sebelum memilih model penegakan hukum pidana.

Definisi dan Arti Kata Dilusi adalah berkurangnya persentase kepemilikan saham yang dimiliki oleh sebagian/seluruh pemegang saham lama, akibat diterbitkannya saham baru untuk dimiliki oleh sebagian pemegang saham lama atau pemegang saham yang baru. Istilah ini di Indonesia digunakan dalam Perseroan Terbatas. Dilusi hanya dapat terjadi apabila terdapat saham yang belum diterbitkan dari seluruh modal dasar Perseroan Terbatas. Meskipun dilusi tidak secara langsung menyebabkan berkurangnya nilai saham, namun dilusi dapat menyebabkan berkurangnya kendali sebagian/seluruh pemegang saham lama terhadap perseroan. Berkurangnya kendali tersebut sehubungan dengan model pengambilan suara dalam Rapat Umum Pemegang Saham yang prinsipnya bernilai 1suara/1lembar saham. Oleh karena itu berdasarkan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, setiap pemegang saham lama pada prinsipnya diberikan hak untuk mengambil bagian terlebih dahulu atas saham baru yang akan diterbitkan dengan cara menyetor tambahan modal sejumlah bagian saham yang diambil.

Peristiwa dilusi dapat dicontohkan sebagai berikut:

  • PT A memiliki Modal Dasar sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta Rupiah) dengan nilai Rp1.000.000,00 (satu juta Rupiah)/lembar saham sehingga seluruh saham tersedia untuk diambil bagiannya sebanyak 100 (seratus) lembar.
  • Pemegang Saham A, mengambil dan menyetor modal sebesar Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta Rupiah), sehingga mendapatkan 25 (dua puluh lima) lembar saham.
  • Pemegang Saham B, mengambil dan menyetor modal sebesar Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta Rupiah), sehingga mendapatkan 25 (dua puluh lima) lembar saham.
  • Saham total yang telah diterbitkan oleh Perseroan sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta Rupiah) atau sebanyak 50 (lima puluh) lembar saham yang saat ini diperhitungkan sebagai 100% (seratus persen) saham beredar.
  • Pemegang Saham A berarti memiliki saham sebanyak 50% (lima puluh persen) dari seluruh saham yang diterbitkan.
  • Pemegang Saham B berarti memiliki saham sebanyak 50% (lima puluh persen) dari seluruh saham yang diterbitkan.
  • Dalam RUPS, suara Pemegang Saham A dan Pemegang Saham B, sama kuat.
  • PT A kemudian akan menerbitkan saham kembali untuk memenuhi seluruh modal dasarnya yakni sebanyak 50 (lima puluh) lembar saham senilai Rp50.000.000,00 (lima puluh juta Rupiah). Terhadap rencana ini, Pemegang Saham A mengambil bagian 25 (dua puluh lima) lembar saham dengan menyetor uang senilai Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta Rupiah) kepada perseroan. Sedangkan Pemegang Saham B tidak mengambil bagian atas saham tersebut. Selanjutnya muncul C yang akan mengambil bagian saham sebanyak 25 (dua puluh lima) lembar dengan menyetor uang senilai Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta Rupiah) kepada perseroan.
  • Terhadap peristiwa tersebut, saat ini Pemegang Saham A memegang 50 (lima puluh) lembar saham, Pemegang Saham B memiliki 25(dua puluh lima) lembar saham, dan Pemegang Saham C memiliki 25(dua puluh lima) lembar saham.
  • Nilai saham Pemegang Saham A saat ini senilai dengan jumlah modal disetornya yakni sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta Rupiah. Nilai saham Pemegang Saham B tetap senilai dengan jumlah modal disetornya yakni sebesar Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta Rupiah). Sedangkan Pemegang Saham C memiliki nilai saham sebanyak modal disetornya yakni Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta Rupiah).
  • Dengan diterbitkannya saham baru sebanyak 50(lima puluh) lembar yang diambil bagian oleh C sebanyak 25(dua puluh lima) lembar saham, serta oleh Pemegang Saham A sebanyak 25(dua puluh lima) lembar, maka kepemilikan saham Pemegang Saham B mengalami dilusi.
  • Saat ini Pemegang Saham A memiliki 50% dari seluruh lembar saham yang diterbitkan, Pemegang Saham B memiliki 25% dari seluruh lembar saham yang diterbitkan, dan Pemegang Saham C memiliki 25% dari seluruh lembar saham.
  • Dalam Rapat Umum Pemegang Saham, suara Pemegang Saham A lebih kuat dibandingkan Pemegang Saham B maupun Pemegang Saham C.

Definisi dan Arti Kata Putusan Serta Merta adalah putusan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu sebelum putusan tersebut berkekuatan hukum tetap. Istilah ini lazim dikenal sebagai uitvoerbaar bij voorraad yang kaidah utamanya dapat dirujuk melalui Surat Edaran Nomor 3 Tahun 2000 tentang Putusan Serta Merta (Uitvoerbaar Bij Voorraad) dan Provisionil. Kaidah putusan serta merta pada prinsipnya menyimpangi kaidah pelaksanaan putusan yang harus dalam keadaan berkekuatan hukum tetap. Oleh sebab itu penjatuhan putusan serta merta harus didasarkan pada suatu pertimbangan yang mendekati kepastian mutlak. Berdasarkan Surat Edaran tersebut setidaknya ada beberapa parameter yang perlu diperhatikan dalam penjatuhan putusan serta merta, yakni sebagai berikut:

  1. Gugatan didasarkan pada bukti surat autentik atau surat tulisan tangan (handschrift) yang tidak dibantah kebenaran
    tentang isi dan tanda tangannya, yang menurut Undang-Undang tidak mempunyai kekuatan bukti;
  2. Gugatan tentang Hutang-Piutang yang jumlahnya sudah pasti dan tidak dibantah;
  3. Gugatan tentang sewa menyewa tanah, rumah, gudang dan lain-lain, dimana hubungan sewa menyewanya sudah habis lampau, atau Penyewa yang beriktikat baik;
  4. Pokok gugatan mengenai tuntutan pembagian harta perkawinan (gono-gini) setelah mengenai putusan mengenai
    gugatan cerai mempunyai kekuatan hukum tetap;
  5. Gugatan berdasarkan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) dan mempunyai hubungan dengan pokok gugatan yang diajukan;
  6. Pokok sengketa mengenai bezitsrecht;
  7. Adanya pemberian jaminan yang nilainya sama dengan nilai barang/objek eksekusi, sehingga tidak menimbulkan kerugian pada pihak lain, apabila ternyata dikemudian hari dijatuhkan putusan yang membantalkan putusan Pengadilan Tingakat Pertama.
  8. Apabila Pengugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri atau Ketua Pengadilan Agama agar Putusan Serta Merta dilaksanakan, maka permohonan tesebut beserta berkas perkara selengkapnya dikirim ke Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Tinggi Agama disertai pendapat dari Ketua Pengadilan Negeri dan Ketua Pengadilan Agama yang bersangkutan.

Definisi dan Arti Kata Uitvoerbaar Bij Voorraad adalah putusan serta merta. Istilah ini berasal dari Bahasa Belanda dengan arti tekstual berlaku sementara. Pengertian tersebut diakomodir secara formil melalui Surat Edaran Nomor 3 Tahun 2000 Tentang Putusan Serta Merta (Uitvoerbaar Bij Voorraad) Dan Provisionil. Di Indonesia, maksud dari istilah ini ialah suatu keadaan yang dapat dijalankan terlebih dahulu tanpa menunggu status berkekuatan hukum tetap. Suatu keadaan tersebut biasanya berupa putusan pengadilan. Uitvoerbaar Bij Voorraad merupakan kaidah pengecualian dari kaidah eksekusi putusan dikarenakan eksekusi putusan pada prinsipnya harus didasarkan pada suatu keadaan hukum yang tetap. Oleh karenanya, penjatuhan putusan uitvoerbaar bij voorraad harus didasarkan pada keyakinan penuh terhadap fakta yang melandasi penjatuhan putusan.